Mubadalah.id – Jika merujuk dalam pandangan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kiai Husein, beliau menyebutkan bahwa hingga saat ini eksistensi perempuan bukan hanya dapat dipermainkan untuk hasrat seksual dan kekuasaan laki-laki. Tetapi juga tempat pelampiasan kemarahan dan emosi-emosi destruktif lainnya.
Lihat saja ilustrasi dari novel-novel Nawal el Sadawi mengenai hal eksistensi para perempuan. Gambaran tentang perempuan yang demikian muncul pula dalam berbagai karya nyanyian.
Ismail Marzuki, misalnya, mengekspresikan realitas budaya patriarkhis tersebut dalam nyanyian yang sangat populer berjudul Sabda Alam. Berikut kutipan syair lagu karya Ismail Marzuki tersebut:
Wanita dijajah pria sejak dulu.
Dijadikan perhiasan sangkar madu.
Toto Sudarto Bachtiar, penyair Indonesia, menggambarkan realitas ini dalam puisinya: “Dunia Bukan Miliknya”:
Inilah gairah seorang perempuan.
Pada masanya tumbuh besar dan berkembang.
Bicaranya penuh ragam mimpi surga.
Sebab tiada dirasa, dunia ini bukan miliknya.
Bila sebuah tirai turun bagi kebebasannya.
Mengikat dalam segala perbuatan.
Ia tegak dan mengangkat tangan.
Sebab tiada merasa, dunia ini bukan miliknya.
Demikian perempuan sepanjang umur.
Mimpinya sedalam laut.
Harapan yang manis akan segala kebebasan hati.
Hingga suatu kali benar dirasanya.
Dunia ini bukan miliknya.
(Tonggak Antologi Puisi Indonesia Modern 2)
Seorang penyair perempuan Aliyyah al-Jiar mengungkapkan dalam Qasidah-nya berjudul Ibnah al-Islam (putri Islam), sebagai berikut:
Fi al-jahiliyyah kuntu kamman muhmala.
Wa unutsati ‘arun tasir wara-iya.
Aliya mudhayya’ah ak-huquq dzalilah.
In lam yaidni fi a-thufulati aliya.
Ketika Jahiliah, aku adalah entitas yang tak berharga.
Identitas keperempuananku adalah cacat.
Hidupku tanpa hak apapun.
Aku, mereka sia-siakan dan rendahkan.
Kalau tidak, aku tertimbun tanah ketika bayi. []