Mubadalah.id – Sungguh realitas yang sulit dibantah, ketergantungan Indonesia kepada energi fosil masih sangat tinggi. Namun demikian, persoalannya energi fosil sudah barang tentu akan mengalami kepunahan dalam waktu yang relatif tidak lama. Maka dari itu, kebutuhan akan energi terbarukan menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak.
Salah satu energi terbarukan yang dianggap cukup baik karena dipandang lebih kecil dampak negatifnya dibanding energi fosil adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Namun, persoalannya adalah beberapa komponen inti PLTS sangat mahal karena harus mengimpor dari negara luar. Hal ini karena Indonesia belum cukup mampu untuk memproduksinya.
Jika terus-menerus mengandalkan pihak luar tentu akan memberatkan keuangan negara. Industri dalam negeri di sisi lain tidak bisa berkembang dengan baik. Sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Padahal sejatinya kesejahteraan rakyat merupakan tanggung jawab utama negara. Apabila negara mengabaikan, maka penyelenggara negara akan dituntut pertanggungjawabanya kelak di akhirat.
Sayyidina Umar bin al-Khathab r.a. pernah mengingatkan hal ini melalui pernyataannya berikut ini: “Seandainya unta mati secara sia-sia karena kebijakanku. Maka aku khawatir Allah akan meminta pertanggungjawabanku.”
Pernyataan Sayyidina Umar bin al-Khathab r.a. apabila kita tarik dalam konteks bernegara mengandung pesan agar negara harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Jangan sampai kebijakan yang pemerintah buat menimbulkan kesengsaraan rakyatnya sendiri.
Sebab, betapa pun kecilnya keburukan yang diakibatkan suatu kebijakan, kelak di akhirat si pembuat dan pelaksana kebijakan akan dimintai pertanggungjawaban secara hakiki oleh Allah SWT.
Hati-hati Membuat Kebijakan
Itu sebabnya negara atau pemerintah harus hati-hati dalam membuat dan menerapkan suatu kebijakan. Nasib warga negara berada di tangan pemerintah. Maka, kehati-hatian adalah pokok atau pangkal.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan negara sebagai bukti kehati-hatian dan menghindari kekeliruan dalam membuat kebijakan adalah melakukan konsultasi dengan para pakar atau ilmuwan yang dipandang mengerti dan memahami dengan baik hal yang terkait dengan rencana kebijakannya itu.
Masukan dari para pakar atau ilmuwan tersebut yang dalam bahasa agama, mereka disebut ulama–menjadi sangat penting dan patut didengar. Para ulama atau akademisi yang memiliki keahlian yang relevan harus dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, baik pada tataran perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun evaluasi.
Sudah sepatutnya setiap kebijakan negara mempertimbangkan masukan mereka. Sebab, mereka pada hakekatnya adalah pemerintahnya pemerintah (umara al-umara).
“Sesungguhnya tindakan atau kebijakan pemerintah atau negara itu tergatung atas masukan dari para pakar, sedangkan para pakar pada hakekatnya adalah pemerintahnya pemerintah.” []