Mubadalah.id – Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa banyak pemimpin perempuan memiliki respon lebih baik di masa pandemi? Negara yang dipimpin oleh pemimpin perempuan menunjukan kemajuan yang positif untuk pengendalian pandemi covid-19.
Tsai Ing-wen di Taiwan memperkenalkan 124 langkah untuk memblokir penyebaran virus di bulan awal wabah ini hadir, bulan Januari. Jacinda Ardent, Perdana Menteri Selandia baru melakukan lockdown lebih awal. Penduduk Selandia baru (sekitar 50.000 sejak tahun 2020) yang mayoritas tinggal di perantauan pun memilih kembali ke negara mereka karena pandemic karena relatif lebih aman.
Islandia, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Katrín Jakobsdóttir, menawarkan pengujian virus corona gratis untuk semua warga negaranya. Angela Merkel, Kanselir Jerman, menyatakan bahwa wabah corona adalah wabah serius yang harus dihadapi dengan serius. Angka kasus positif di Jerman berada di bawah angka kasus negara-negara lain di Eropa.
Penelitian yang dipimpin oleh Prof. Supriya Garikipati di University of Liverpool bahkan menyebutkan jika anda akan lebih aman maka tinggalah di negara yang dipimpin oleh pemimpin perempuan selama pandemi. South China Morning Post juga menyebutkan bahwa pemimpin perempuan mampu memberikan reaksi pada penemuan ilmiah dengan lebih cepat.
Prof. Karlina Supelli menjelaskan fenomena ini dengan menyatakan bahwa perbedaan cara ajar mempengaruhi. Perempuan mayoritas dibesarkan dengan menggunakan ethic of care, sementara laki-laki lebih banyak dibesarkan dengan ethic of justice.
Jika perempuan Indonesia ditanya apa mainan mereka ketika kecil. Sebagian besar mungkin akan menjawab bermain boneka, rumah-rumahan atau masak-masakan. Dimana fokusnya untuk melayani yang lain. Sementara laki-laki, mereka bermain pistol-pistolan dan perang-perangan. Seakan-akan sedang menyelamatkan dunia dari penjahat. Fokusnya adalah menegakan keadilan di muka bumi.
Menurut Carol Gilligan–tokoh yang mencetuskan ethic of care, Perempuan sejak kecil diarahkan untuk peduli pada kebutuhan orang lain. Akhirnya mereka mengembangkan bahasa kepedulian (ethic of care) yang menekankan pada menciptakan dan memelihara hubungan baik dengan manusia. Sedangkan laki-laki dibesarkan untuk mengabdikan diri pada dunia usaha, seperti hukum, tata negara, dan bisnis. Sehingga, laki-laki mengembangkan bahasa keadilan (ethic of justice)
Apakah perbedaan cara ajar itu selalu bisa mempengaruhi kepemimpinan? Jawabannya bisa iya dan tidak. Dalam psikologi, ada teori besar yang memiliki asumsi bahwa manusia dipengaruhi oleh alam sekitarnya (termasuk cara ajar) yaitu teori behavioristik. John B Watson, pencetus teori behavioristik itu beralasan karena tujuan utama psikologi adalah memprediksi dan mengontrol perilaku.
Namun teori behavioristik dikritik karena manusia adalah makhluk yang unik, dan terdapat banyak kasuistik yang tidak bisa dijelaskan dengan pengaruh alam sekitar saja. Manusia bukan hanya dipengaruhi oleh lingkungannya tapi juga pengalaman subjektif, alam bawah sadar, kesadaran serta hal lain.
Dalam Islam, kita sama-sama tau jika anak pertama Nabi Nuh, Kan’an tidak beriman pada Allah. Ayah Nabi Ibrahim, Azar juga merupakan pembuat dan penyembah berhala. Cara ajar tidak selalu konsisten dengan cara berfikir dan berperilaku anak. “Anakmu, bukanlah anakmu, ia adalah anak kehidupan” kata Kahlil Gibran dalam salah satu puisinya.
Cerita-cerita ini menunjukan bahwa tidak semua cara ajar yang baik bisa menurun pada anak atau sebaliknya. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Jadi, wajar jika ada pemimpin perempuan yang tidak efektif. Tidak semua perempuan memiliki ethic of care yang tinggi, karena tidak semua perempuan dibesarkan dengan nilai itu. Jika pun dibesarkan dengan ethic of care, tidak semua perempuan dipengaruhi oleh cara ajar.
Sayangnya tentu saja, ethic of care ini tidak selalu baik. Ia bisa saja membuat kita berlaku tidak adil jika menyangkut orang-orang terdekat kita. Begitu pula ethic of justice yang dikembangkan oleh Kohlberg memiliki kelemahan, ia bias pada gender dan hanya fokus pada prinsip dan rasionalitas tanpa melihat konteks lingkungan dan hubungan sosial.
Itulah mengapa, seharusnya pola asuh antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan. Alias kita harus menggunakan pola asuh yang adil gender. Laki-laki dan perempuan harusnya sama-sama dibesarkan dengan ethic of care dan ethic of justice. Velasques (1997) juga mengkritik, seharusnya kepedulian itu bukan hanya tugas perempuan, tapi keduanya: laki-laki dan perempuan. []