• Login
  • Register
Selasa, 8 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Menjadi Pendengar yang Baik bagi Anak

Napol Napol
19/01/2021
in Kolom
0
Pendengar yang Baik bagi Anak

Pendengar yang Baik bagi Anak

87
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bagaimana cara menjadi pendengar yang baik bagi anak? Anak-anak adalah pengamat yang baik, reseptif dan peka. Orang dewasa bisa berbagi sebagian yang mereka amati/rasakan dengan mendengarkan mereka. Di dunianya, anak-anak melihat hal-hal yang mungkin tidak kita sadari. Menurut Mimi Doe dan Marsha Walch dalam 10 Prinsip Spiritual Parenting (1998), berbicara dengan orang dewasa yang reseptif tentang apa yang dirasakan anak akan memberi dunianya suara, dan memberinya pembendaharaan kata tentang pengalaman dan gagasan uniknya.

Didengarkan membuat anak-anak merasa diakui dan memberi mereka kepercayaan diri, sehingga mereka merasa istimewa dan aman dalam keunikan mereka sendiri. Didengarkan membuat anak-anak tahu bahwa perasaan dan gagasan mereka baik-baik saja. Juga memberi mereka kesempatan untuk mengungkapkan emosi mereka daripada memendamnya.

Banyak orangtua belum memahami bagaimana menjadi sahabat bagi anak. Merasa sudah meluangkan waktu untuk mereka, tapi anak masih sulit dipahami apa maunya. Kerap berbohong, atau tidak terbuka. Mimi Doe dan Marsha Walch dalam tulisan mereka, memaparkan beberapa cara yang bisa dilakukan orangtua untuk menjadi pendengar yang baik:

  1. Menerima emosi anak

Anak-anak harus mengetahui bahwa perasaan mereka penting. Jadi mereka tidak boleh dipermalukan, atau diatur ketika mereka mengungkapkan emosi tertentu. Kata-kata seperti “jangan menangis, anak laki-laki masak ’cengeng?”, tentu tidak tepat diucapkan kepada anak yang sedang mengungkapkan emosinya.

Anak-anak punya perasaan mendalam seperti orang dewasa, hanya mereka belum punya perbendaharaan kata yang cukup untuk mengungkapkannya. Sangat melegakan jika orangtua dengan tenang menerima pengungkapan perasaan mereka. “Ibu/Ayah tahu kamu merasa sedih. Sesudah menangis jadi lega, ya?”

Baca Juga:

Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

Jangan Hanya Menuntut Hak, Tunaikan Juga Kewajiban antara Orang Tua dan Anak

Jika perasaan anak sering tidak dihargai, mereka akan mengingkari emosi, dan kelak tidak pandai berkomunikasi dalam pergaulan. Menghormati perasaan anak berarti menghormati jiwanya.

  1. Mengatur waktu dan tempat yang nyaman

Memang tidak selalu mungkin menghentikan kegiatan kita untuk seorang anak tepat pada saat dia memintanya. Tetapi berusahalah menyediakan ‘waktu mendengarkan’. Setiap hari, atau dua hari sekali, ketika kita sengaja menyiapkan diri.

Bagi orangtua dengan banyak anak, di samping kerja fulltime, tentu sulit meluangkan waktu untuk setiap anak secara terpisah setiap hari. Mungkin sesi mendengarkan itu bisa dilakukan saat berkumpul bersama mereka semua setiap malam. Atau quality time di akhir pekan. Atur juga tempat mendengarkan yang pas: kursi yang nyaman, di tempat tidur, di teras saat bersantai.

Jika anak ingin berbicara dengan kita saat kita sibuk, kita bisa mengatakan “Ayah/Ibu tidak bisa mengobrol sekarang karena akan terlambat masuk kerja. Kita akan membicarakan hal itu nanti saat jalan-jalan sore ya”, atau kapan pun yang memungkinkan. Tunda pembicaraan itu tanpa membuat anak merasa ‘ditolak’.

  1. Hadir ‘seutuhnya’

Mendengarkan anak-anak berarti memusatkan perhatian pada mereka sepenuhnya. Beri mereka perhatian penuh. Kita tidak perlu ‘memperbaiki’ cerita mereka, misalnya soal mimpi buruknya. Cukup menjadi pendengar yang baik. Tetap tulus dan mendukung, agar upaya kita mendengarkan menjadi efektif.

  1. Mendengarkan dengan hormat

Dengarkan anak seolah-olah dia adalah guru besar. Dengarkan seolah-olah dia adalah atasan kita. Dengarkan seolah-olah dia menyimpan masa depan dunia. Cobalah untuk sesaat memberinya perhatian seperti yang akan kita berikan kepada orang-orang tersebut. Dengarkan dengan hormat, dan dia akan merasa nyaman mengungkapkan pikiran-pikirannya. Baik maupun buruk.

Dengan mendengarkan ini akan timbul percakapan. Melalui percakapan akan timbul pertanyaan. Melalui pertanyaan akan timbul pemahaman, keyakinan dan kepercayaan jiwa.

  1. Memperhatikan pesan-pesan non-verbal

Mendengarkan berarti juga memperhatikan perilaku di samping kata-kata. Cobalah perhatikan suara dan pesan tak terucap yang disampaikan anak kepada kita. Barangkali anak tidak punya kata-kata untuk menggambarkan perasaannya. Atau tidak jelas tentang apa yang dirasakannya.

Anak-anak, seperti orang dewasa. Menyalurkan kecemasan yang tidak terucapkan melalui tubuhnya. Perhatikan petunjuk-petunjuk penting ini. Apakah anak mengeluh sakit perut setiap pagi sebelum berangkat sekolah? Apakah dia menggigiti kukunya lagi? Pesan apa yang ia coba sampaikan? Jangan lupa memperhatikan pertanyaan-pertanyaan ‘tak berarti’ yang diucapkan anak. Jika kita tidak punya waktu ketika ucapan itu keluar, coba diingat, bila perlu catat, untuk diselidiki nanti.[]

Tags: anakdongengmendampingi anakmendengaran anakmengajak liburanmengajak rekresiparentingpola asuh anak
Napol

Napol

Terkait Posts

Jiwa Inklusif

Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

8 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Intoleransi di Sukabumi

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

7 Juli 2025
Retret di sukabumi

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

7 Juli 2025
Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Retret di sukabumi

    Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Ulama Perempuan yang Membisu dalam Bayang-bayang Kolonialisme Ekonomi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kasih Sayang Seorang Ibu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menimbang Kebijakan Nikah Massal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak
  • Meruntuhkan Mitos Kodrat Perempuan
  • Menimbang Kebijakan Nikah Massal
  • Menggugat Batas Relasi Laki-Laki dan Perempuan di Era Modern-Industrialis
  • Sejarah Ulama Perempuan yang Membisu dalam Bayang-bayang Kolonialisme Ekonomi

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID