Mubadalah.id – Cara pandang atas kedirian manusia memengaruhi cara melihat perkawinan. Demikin pula cara pandang relasi pasangan suami dan istri (pasutri).
Masyarakat Jahiliyah memandang manusia hanya sebagai makhluk fisik semata. Karenanya, pergaulan pasutri tak lebih dari relasi pejantan dan betina.
Namun, relasi laki-laki dan perempuan sangat patriarki. Perempuan seumur hidupnya di bawah kekuasaan mutlak laki-laki, yakni ayah sebelum menikah dan suami setelahnya. Perempuan dipandang sebagai objek seksual laki-laki.
Dalam kondisi seperti itu, perkawinan menjadi peralihan kekuasaan mutlak atas perempuan di antara dua laki-laki, ayah dan suami. Tujuannya adalah suami memperoleh kenikmatan seksual dari istri atas dasar kepemilikan mutlak. Islam hadir merombak hal ini.
Tauhid mengajarkan bahwa jati diri manusia yang utama adalah makhluk intelektual dan Spiritual, sehingga dituntut mempertimbangkan akal budi dalam setiap tindakan. Tauhid juga menolak relasi kekuasaan mutlak antarmanusia, termasuk antara laki-laki dan perempuan, dan antara suami dan istri.
Tujuan perkawinan bukanlah kepuasan seks suami atas dasar kekuasaan mutlaknya pada istri, melainkan ketenangan jiwa (sakinah) suami dan istri atas dasar cinta kasih (mawaddah wa rahmah) keduanya (QS. ar-Rum ayat 21).
Etika dasar hubungan seksual pasutri dengan demikian adalah dapat memberikan ketenangan jiwa kepada kedua belah pihak dan dilakukan dengan cara-cara yang mencerminkan cinta kasih.
Ayat dan Hadis tentang suami-istri mesti kita pahami dalam kerangka nilai dasar ini. Hadis: “Jika suami mengajak baik-baik (da’a) istrinya untuk hubungan seks lalu istri menolak dengan cara buruk (abat). Maka laknat malaikat atas istri sampai subuh.”
Jelas tidak meliputi suami yang mengajak dengan cara buruk apalagi memaksa, dan tidak meliputi istri yang menolak baik-baik, apalagi yang sedang sakit. []