Mubadalah.id – Idulfitri sebagai momen suci umat Islam, sejatinya adalah perayaan kemenangan spiritual setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh. Hari raya ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga refleksi atas kesucian diri, silaturahmi, dan kepedulian sosial. Namun, dalam realitas sosial kontemporer, makna spiritual Idulfitri perlahan bergeser, terperangkap dalam euforia konsumtif yang semakin mengakar dalam budaya masyarakat modern.
Dahulu kebahagiaan Idulfitri dirayakan dengan kesederhanaan, diwarnai oleh kebersamaan dan kekhidmatan. Kini, kapitalisasi tradisi menjadikan Idulfitri sebagai ajang konsumsi besar-besaran. Masyarakat seolah dituntut untuk membeli pakaian baru, menyajikan makanan berlimpah, memberikan uang tunjangan hari raya (THR), hingga mudik dengan berbagai fasilitas mewah.
Semua ini tentu sah-sah saja, tetapi ketika tuntutan konsumsi melampaui kemampuan finansial individu dan memicu perilaku konsumtif yang berlebihan, maka esensi Idulfitri menjadi kabur.
Industri ritel, perbankan, dan berbagai sektor ekonomi lainnya berlomba-lomba memanfaatkan momentum ini. Iklan-iklan di media sosial, televisi, hingga papan reklame di jalanan menawarkan produk-produk dengan narasi yang menggiring opini publik: “Lebaran harus dirayakan dengan kemewahan.” Akibatnya, tanpa kita sadari, masyarakat terdorong untuk berbelanja lebih banyak demi memenuhi ekspektasi sosial yang semakin tinggi.
Kapitalisasi Tradisi Kebersamaan ke Komersialisasi
Kapitalisme modern telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk cara masyarakat merayakan Idulfitri. Tradisi yang semula bersifat sosial dan spiritual kini menjadi ladang komersialisasi yang dimanfaatkan oleh industri.
Misalnya, budaya membeli baju baru saat Lebaran. Dulu sebatas simbol kesucian dan pembaruan diri. Kini lebih menjadi ajang pamer dan kompetisi gaya hidup. Berbagai merek fashion berlomba-lomba merilis koleksi khusus Lebaran, dengan promosi besar-besaran yang mendorong masyarakat untuk membeli, bahkan jika itu berarti berutang atau menggunakan fasilitas kredit.
Fenomena serupa juga terjadi dalam sektor kuliner. Dulu, makanan khas Lebaran seperti ketupat, opor ayam, dan rendang kita siapkan bersama keluarga sebagai bentuk kebersamaan. Kini, restoran dan katering menawarkan paket hidangan Lebaran yang serba praktis tetapi dengan harga tinggi. Akibatnya, nilai kebersamaan yang terkandung dalam proses memasak bersama mulai tergantikan oleh kemudahan yang industri makanan tawarkan.
Tak hanya itu, fenomena mudik juga menjadi bagian dari kapitalisasi tradisi. Kenaikan harga tiket transportasi, promo diskon kendaraan pribadi, serta maraknya paket wisata Lebaran menunjukkan bagaimana industri transportasi dan pariwisata memanfaatkan momen ini untuk meningkatkan keuntungan.
Mudik yang semula merupakan tradisi untuk kembali ke kampung halaman dan mempererat silaturahmi, kini juga terpenuhi dengan tuntutan gaya hidup yang semakin mahal. Banyak orang merasa harus menggunakan kendaraan yang lebih mewah, menginap di hotel berbintang, atau membawa oleh-oleh yang mahal agar tidak dipandang rendah oleh keluarga dan lingkungan sekitar.
Budaya Konsumerisme dan Ironi Sosial Idulfitri
Salah satu dampak paling nyata dari kapitalisasi Idulfitri adalah semakin menguatnya budaya konsumerisme dalam masyarakat. Masyarakat terdorong untuk membeli lebih banyak, menghabiskan lebih besar, bahkan berutang demi memenuhi standar sosial yang tercipta oleh industri. Lebaran bukan lagi sekadar perayaan spiritual, tetapi telah menjadi ajang konsumsi massal yang sering kali tidak rasional.
Ironi sosial pun muncul dalam fenomena ini. Di satu sisi, kita melihat masyarakat berlomba-lomba membeli pakaian mahal, menggelar pesta besar, dan menikmati perjalanan mudik yang eksklusif.
Namun, di sisi lain, masih banyak orang yang justru kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka. Bahkan untuk sekadar membeli bahan pokok saat harga melonjak menjelang Lebaran. Idulfitri yang sejatinya adalah momentum untuk berbagi dan mempererat solidaritas sosial justru memperlihatkan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar.
Selain itu, budaya konsumtif ini juga berdampak pada kesehatan finansial individu. Banyak orang yang menggunakan kartu kredit atau pinjaman online untuk membiayai kebutuhan Lebaran, hanya untuk kemudian terbebani oleh cicilan setelah hari raya berlalu.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana euforia Idulfitri yang didorong oleh kapitalisme justru menciptakan tekanan finansial bagi banyak orang. Berlawanan dengan semangat kebahagiaan dan kesederhanaan yang seharusnya menjadi inti dari perayaan ini.
Kapitalisasi tradisi dan budaya konsumerisme dalam perayaan Idulfitri adalah fenomena yang tidak bisa kita hindari dalam era globalisasi dan ekonomi pasar. Namun, masyarakat perlu lebih bijak dalam menyikapi euforia Lebaran agar tidak terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang berlebihan.
Idulfitri seharusnya menjadi momentum untuk merayakan kebersamaan, meningkatkan spiritualitas, dan mempererat solidaritas sosial, bukan sekadar ajang belanja dan pemborosan.
Mengembalikan Makna Idulfitri
Kita memerlukan kesadaran kolektif untuk mengembalikan esensi Idulfitri ke makna yang lebih mendalam. Kesederhanaan dalam berbelanja, dan menghindari utang konsumtif. Selain itu lebih mengutamakan nilai-nilai sosial dan spiritual harus menjadi prioritas. Dengan demikian, Idulfitri tidak hanya menjadi perayaan yang penuh kemeriahan sesaat, tetapi juga membawa keberkahan yang lebih berarti bagi kehidupan kita.
Pada akhirnya, masyarakat perlu memahami bahwa kebahagiaan tidak kita ukur dari jumlah barang yang kita miliki. Tetapi dari keberkahan yang kita dapatkan. Memprioritaskan kebutuhan dibandingkan keinginan menjadi langkah awal untuk menghindari pemborosan.
Selain itu, menanamkan nilai-nilai spiritual dalam keluarga juga penting agar perayaan Idulfitri tidak hanya berfokus pada aspek materi, tetapi juga pada peningkatan kualitas ibadah dan kepedulian sosial.
Peran media dan iklan yang sering kali mendorong gaya hidup konsumtif juga perlu kita sikapi dengan bijak. Masyarakat harus lebih selektif dalam menyikapi promosi yang menggiring ke arah perilaku boros.
Kampanye kesadaran tentang pentingnya pengelolaan keuangan yang baik sebelum Idulfitri dapat membantu mengurangi perilaku konsumtif. Dengan demikian, Idulfitri dapat kita rayakan dengan lebih bermakna, tanpa tekanan finansial yang berlebihan dan tetap menjaga semangat kebersamaan serta kepedulian terhadap sesama. []