“Pemerintah harus membuat peraturan perundangan yang menjamin hak-hak korban, pemulihan yang berkelanjutan, dan sanksi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan pada perempuan hukumnya adalah wajib.”
Mubadalah.id – Perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, telah sampai pada hari terakhir, Sabtu, 26 November 2022.
Setelah melalui berbagai kegiatan dan forum, di hari ketiga ini terdapat pembacaan pandangan dan sikap keagamaan, serta rekomendasi KUPI II.
Selain itu ada juga pembacaan Ikrar Bangsri Jepara dan pembacaan Deklarasi Jaringan KUPI Muda.
Adapun pandangan dan sikap keagamaan serta rekomendasi KUPI II dibacakan oleh beberapa representasi peserta.
Nyai Nurul Mahmudah perwakilan dari Jombang mengungkapkan bahwa sikap keagamaan KUPI melihat pemaksaan perkawinan terhadap perempuan tidak hanya berdampak secara fisik dan psikis, tapi juga sosial, ekonomi, politik, dan hukum.
Oleh sebab itu, hukum pemaksaan perkawinan pada perempuan adalah haram. Sedangkan bagi pelaku pemaksaan perkawinan pada perempuan wajib mendapatkan sanksi pidana.
“Dengan demikian, pemerintah harus membuat peraturan perundangan yang menjamin hak-hak korban, pemulihan yang berkelanjutan, dan sanksi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan pada perempuan hukumnya adalah wajib,” kata Nyai Nurul.
Perwakilan PP. An-Nuqayah Guluk Guluk Sumenep Madura, Mohammad Khatibul Umam menyampaikan bahwa semua pihak wajib mengelola sampah sesuai kemampuan dan kapasitas masing-masing.
Terutama pemerintah wajib membangun kesadaran warga akan bahaya sampah dan memberikan edukasi pengelolaan sampah yang paling sederhana.
“Hukum pembiaran kerusakan lingkungan hidup akibat polusi sampah adalah haram bagi pelakunya langsung. Dan makruh tahrim (mendekati haram) bagi orang yang tidak mempunyai wewenang,” ujar Khatibul Umam.
Hukum P2GP
Sementara itu, Wakil Ketua STAI Teuku Chik Pante Kulu Banda Aceh, Dr. Sarina Aini mengatakan bahwa hukum melakukan tindakan pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis adalah haram.
“Semua pihak harus bertanggungjawab untuk mencegah P2GP tanpa alasan medis. Sedangkan hukum menggunakan wewenang sebagai tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis. Dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya tindakan pemotongan dan/atau P2GP tanpa alasan medis adalah wajib,” ujarnya. (Rul)