Mubadalah.id – Selama ini, mayoritas ulama fikih berpandangan bahwa Islam tidak memberikan kewenangan kepada perempuan untuk melangsungkan akad nikah sendiri, menjadi imam dalam shalat berjamaah, atau memimpin komunitas sosial.
Jika dicermati, pendapat ini sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh realitas sosial (mutathallibat al-waqi’) ketimbang bersandar langsung pada petunjuk teks agama (dalilit an-nash).
Realitas masyarakat yang patriarkal kala itu membentuk batas-batas dan ruang gerak bagi perempuan. Termasuk dalam persoalan fikih tentang khitan perempuan, perkawinan dan perceraian, hak dan kewajiban sebagai istri, maupun hak sebagai warga negara.
Semua itu tak lepas dari konstruksi yang kita kenal sebagai “fitnah perempuan”, yang seakan menjadi legitimasi pembatasan peran mereka. Jika persoalan-persoalan ini diurai lebih dalam, tampak jelas bagaimana fikih tidak lahir di ruang hampa. Tetapi sangat erat kaitannya dengan konteks sosial yang melingkupinya, selain tentu saja keterkaitannya dengan teks-teks agama.
Contoh nyata bisa kita lihat pada masalah perceraian. Dalam hadis, menyebutkan dengan tegas bahwa menceraikan istri adalah perbuatan yang sangat Allah SWT benci.
Nabi Muhammad SAW sendiri bahkan dalam keadaan sulit sekalipun tidak mudah mengambil keputusan cerai. Namun ketika persoalan ini menjadi norma hukum fikih, perceraian justru menjadi begitu longgar.
Suami dapat menjatuhkan talak kapan saja, di mana saja, dalam kondisi apa pun, tanpa mempertimbangkan keadaan istri. Bahkan ketika para ulama sepakat bahwa menjatuhkan talak saat istri haid hukumnya haram, mereka tetap menganggap talaknya sah dan jatuh. Konsekuensinya, perempuan selalu menjadi pihak yang terugikan.
Seperti dalam pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, tarik-ulur antara fikih, teks, dan realitas ini menunjukkan bahwa hukum sering kali lebih tunduk pada kepentingan sosial daripada pada nilai-nilai keadilan.
Karena itu, penting bagi kita untuk terus mengkritisi dan meninjau ulang tafsir fikih agar lebih sesuai dengan prinsip rahmah dan keadilan bagi semua, termasuk bagi perempuan. []