Mubadalah.id – Walaupun bukan penakut, saya tidak suka film horor. Mungkin kepercayaan akan yang ghaib membuat saya mengimani bahwa arwah-arwah penasaran yang seram dan mengganggu memang ada. Sehingga saya khawatir jika berada di tempat gelap pada malam hari setelah menonton film horor. Hal ini membuat saya menolak setiap kali diajak menonton film dengan genre tersebut.
Akan tetapi saya memiliki pendapat yang berbeda mengenai karya-karya Stephen King. Film adaptasi buku-buku King seringkali dilabeli dengan genre horor yang nampaknya lebih cocok disematkan sebutan thriller atau film yang menegangkan. Tidak seperti tayangan horor lain, film-film King tidak menyajikan hantu atau makhluk tak kasat mata lainnya. Perilaku-perilaku manusia yang janggal akibat kondisi psikologis yang terguncang seringkali menjadi sorotan utama karya-karya penulis asal Amerika Serikat Tersebut.
Film The Shining, misalnya, menyoroti perilaku seorang penulis yang mengalami cabin fever dan menyebabkan kekerasan yang dia lakukan terhadap keluarganya. Film lain seperti 1922 menyajikan kasus pembunuhan yang dilakukan seorang pria terhadap istrinya akibat maskulinitasnya yang rapuh terancam. Akan tetapi, film King yang terasa dekat dengan saya adalah Carrie.
Difilmkan sebanyak dua kali pada tahun 1976 dan 2013, film Carrie ini merepresentasikan buruknya ekstrimisme dalam beragama. Selain itu, kepercayaan terhadap agama yang radikal digambarkan film ini sebagai hal yang sangat merugikan perempuan.
Pada Film Carrie versi 2013 yang saya tonton, cerita dimulai dengan adegan Margaret, ibu dari Carrie, yang kesakitan karena akan melahirkan. Anehnya, dengan perut yang sangat besar, Margaret tidak paham bahwa selama ini dirinya telah mengalami proses kehamilan dan melahirkan. Perempuan penganut Kristen fanatik ini mengira bahwa di dalam perutnya terdapat kutukan kanker yang tumbuh besar akibat dia berhubungan seksual dengan seorang pria di luar ikatan pernikahan.
Lugunya Margaret akan kondisi tubuhnya sendiri menunjukkan minimnya pendidikan seksual yang dia ketahui. Margaret hanya tahu bahwa jika dia melanggar doktrin-doktrin agama, maka dia akan mendapatkan hukuman langsung dari Tuhan. Hal ini mengingatkan saya akan kampanye nikah muda demi menghindari zina namun tanpa pembekalan pendidikan seksual dan bahaya kehamilan remaja.
Akun-akun instagram seperti Indonesia Tanpa Pacaran, misalnya, masih mengutamakan pernikahan tanpa perkenalan yang baik di antara kedua calon mempelai. Selain itu, kasus Aisha Weddings yang melayani pernikahan dini menjadi ancaman bagi generasi muda Indonesia yang masih tabu terhadap pendidikan seksual. Sehingga, walaupun tidak selugu Margaret dalam Carrie, masih banyak perempuan Indonesia yang mengalami kehamilan remaja karena pemahaman mereka yang sedikit akan kerugian dari kondisi yang mereka alami.
Minimnya pendidikan seksual Carrie juga terlihat ketika dia mengalami menstruasi untuk pertama kalinya. Carrie tidak tahu penyebab banyaknya darah yang mengalir dari vagina ke pahanya. Hal tersebut diperburuk dengan teman-teman sekolahnya yang merundung Carrie ketika dia histeris karena bingung dan merasakan sakit akibat menstruasi. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pembekalan pendidikan seksual oleh ibunya, Margaret. Margaret cemas putrinya akan mengeksplorasi tubuh dan seksualitasnya hingga melakukan kesalahan yang sama dengannya.
Saya jadi teringat pengalaman salah satu teman sekolah yang tengah mengalami menstruasi pertama. Ibu teman saya tersebut tidak membekali putrinya dengan pembalut ke sekolah. Alasannya adalah agar si anak dapat belajar menghadapi situasi ketika pakaian dalam dan roknya terkena darah menstruasi.
Teman sekolah saya tersebut memang tidak histeris dan bingung seperti seperti Carrie. Namun, serupa dengan tokoh fiksi buatan Stephen King tersebut, teman saya tidak dibekali ibunya pengetahuan yang cukup serta pembalut dengan baik. Walaupun tujuannya tidak untuk melanggengkan sesuatu yang tabu, membiarkan anak perempuan tidak higienis dan tidak nyaman di hari pertama menstruasi adalah sikap yang salah.
Selain itu, beberapa teman perempuan bercerita bahwa mereka ditakut-takuti bahwa ada makhluk halus yang menjilati pembalut mereka jika tidak dibersihkan dengan baik. Hal ini tidak hanya melemahkan kemampuan kita untuk berpikir kritis tetapi juga menunjukkan seolah-olah menstruasi adalah hal yang kotor.
Pengetahuan akan agama yang tidak baik turut melanggengkan hilangnya kesucian akibat menstruasi. Walaupun sudah terdapat contoh cerita Rasul yang meminta tolong Aisyah untuk masuk masjid ketika sedang menstruasi, masih banyak perempuan masa kini yang perlu masuk ke dalam masjid namun ragu-ragu untuk melakukannya. Hal ini disebabkan oleh doktrin-doktrin yang sudah tertanam selama ini. Tidak hanya menganggap perempuan kotor, doktrin yang mengatasnamakan agama semakin menjauhkan perempuan dari pendidikan seksual yang bermanfaat.
Hal lain yang membuat saya tertawa geli namun juga miris adalah ketika Margaret menyebut payudara Carrie sebagai dirty pillows atau bantal kotor. Hal ini terjadi ketika Carrie bersiap-siap menghadiri pesta prom dan mengenakan gaun yang terbuka. Margaret yang terlalu fanatik menekankan bahwa payudara yang mengintip dari gaunnya dapat memancing setan di dalam tubuh laki-laki. Akan tetapi, Carrie mengacuhkannya dan tetap mengenakan gaun yang anggun tersebut.
Pembatasan ekspresi ketubuhan seperti yang dialami Carrie bukan hal yang asing bagi saya. Pertanyaan mengganggu seperti alasan tidak adanya kerudung di kepala saya sudah seringkali datang dan pergi. Belum lagi menyaksikan perempuan-perempuan lain yang mengalami pelecehan seksual dan malah disalahkan karena tidak mengenakan pakaian yang menutup aurat. Bukannya menyelesaikan masalah dengan mengedukasi laki-laki agar tidak memiliki mental pemerkosa, kenapa harus kami perempuan yang dibatasi dengan dalih agama?
Payudara, misalnya, adalah organ tubuh yang mendukung jalannya kehidupan. Bayi yang menyusu dari ibunya dapat terus hidup dan keduanya dapat menjalin ikatan yang tidak tergantikan. Akan tetapi, banyak sekali yang menjadikan payudara perempuan sebagai objek seksual. Jangankan mengenakan gaun seperti Carrie, berpakaian tertutup pun masih banyak pelaku pelecehan seksual yang melirik dan memandang ke arah payudara perempuan untuk memuaskan hasrat mesum mereka.
Keeratan pengalaman dalam film Carrie dengan kehidupan nyata di sekitar saya menunjukkan bahwa ekstrimisme agama dapat merugikan perempuan di mana saja. Berpegang pada agama bukan berarti pengetahuan akan hal-hal lainnya kemudian diacuhkan. Pendidikan seksual misalnya, sudah tidak layak lagi dianggap tabu dan ditutup-tutupi dengan ancaman dosa.
Agama dan pendidikan seksual seharusnya bisa saling mendampingi agar pengikutnya mampu berpikir kritis dalam menghindari perilaku-perilaku yang merugikan dirinya serta orang lain. Selain itu, dengan mempelajari ilmu agama serta pendidikan seksual dengan kritis, kerugian yang seringkali merugikan perempuan dapat dihindari. []