Mubadalah.id – Film Rumah untuk Allie telah tayang di Netflix sejak 28 Agustus 2025. Sebelumnya film yang terangkat dari Novel berjudul sama karya Lenn Liu ini telah tayang di bioskop.
Film produksi Falcon Pictures ini perdana tayang di layar bioskop pada 17 April 2025. Dengan berhasil meraih 425 ribu penonton per 25 April 2025.
Kolaborasi aktor dan aktris muda dan senior, seperti: Anantya Kirana (Allie Ishala Samantha), Dito Darmawan (Sadipta), Rafly Artama Putra (Natta), Andryan Bima (Samuel), Faris Fadjar Munggaran (Rendra) dll.
Serta aktris dan aktor senior Tika Bravani (Gimana Sari) dan Rizky Hanggono (Abimanyu) turut memainkan peran terbaiknya dalam film ini.
Drama keluarga ini mengajak kita untuk melihat lebih dekat luka-luka yang tak terlihat akibat kekerasan.
Sinopsis
Film Rumah untuk Allie menggambarkan perjuangan seorang gadis sulung yang bertahan dalam keluarga yang rapuh. Kematian ibunya kerap kali menjadi isyarat kambing hitam untuk menyalahkan Allie.
Menjadi anak sulung dengan banyak saudara laki-laki bagi Allie tidaklah mudah. Allie kerap kali menanggung beban mental, fisik dan domestik sendirian. Setidaknya, hal itu terjadi pasca kematian ibunya.
Keinginan untuk menjadi anak baik dengan menghormati seluruh anggota keluarga menjadi jalan agar Allie merasa tetap “ada” dalam keluarga ini.
Tumbuh dalam keluarga problematik berefek pada kesehatan mentalnya. Pengalaman traumatik yang berasal dari rumah itu berdampak pada lingkungan yang lebih luas.
Allie kerap kali kesulitan terbuka tentang masalah hidupnya, menyalahkan dirinya sendiri meskipun kesalahan berasal dari luar.
Lingkungan sekolah yang turut menyuburkan praktik bullying, menambah daftar panjang tindak kekerasan yang Allie terima.
Pengaruh dari lingkungan keluarga dan sekolah yang buruk ini, alih-alih menggambarkan praktik baik lingkungan tanpa kekerasan. Tetapi, justru mampu menjadi akar-akar tumbuhnya kekerasan yang lebih besar.
Kelebihan Film
Kelebihan dari film bertema kekerasan ini tampak ketika hadirnya support system. Sebagai penikmat film ini, kehadiran tokoh Natta dan kedua sahabatnya membuat penulis merasa terwakilkan.
Bersama mereka yang kerap kali menunjukkan kepedulian, dukungan yang tulus, waktu untuk mendengar keluh kesah, dan kehadiran secara fisik.
Hal-hal sederhana yang membuat Allie merasa tidak menanggung beban berat itu sendirian.
Dalam salah satu scene film ini, memperlihatkan bahwa Allie sedang menempel poster bertema anti kekerasan.
Meskipun tidak mendapat sorotan yang lebih lama. Sepertinya, sutradara ingin mengalihkan fokus penonton dalam hal yang lebih luas. Alih-alih hanya untuk memperhatikan poster anti kekerasan saja.
Tetapi, memperlihatkan lebih dalam tentang bagaimana kekerasan yang dinormalisasi itu mampu memicu trauma yang membekas.
Kekurangan Film
Durasi untuk tokoh protagonis dengan adegan kekerasan tampil lebih panjang. Sebaliknya, peran tokoh antagonis seperti tidak mendapatkan peran lebih dalam. Peran mengatasi kekerasan tidak benar-benar ada.
Figur orang tua yang gagal menjadi teladan bagi anak-anaknya menjadi kurang masuk akal. Mengingat sebagai manusia dewasa, keluarga Allie terus menjadikannya kambing hitam.
Hegemoni kekuasaan dari tokoh ayah dan kakak-kakaknya terhadap Allie memperbesar pengaruh untuk “menundukkan” peran Allie.
Ruang Aman yang Hilang
Dalam salah satu scene film ini menyinggung pengertian rumah dalam bahasa Inggris. Yakni home dan house.
Keduanya mengandung pengertian berbeda. House diartikan sebagai bangunan yang melindungi penghuninya dari terik matahari dan hujan. Namun, home diartikan sebagai ruang non-bangunan yang memberikan kehangatan khas keluarga.
Melalui kaca mata ini Allie tidak memiliki home, yang ada hanyalah house. Rumah bagi kisahnya hanyalah bangunan fisik. Namun, ketiadaan rasa hangat dalam keluarga ini membuat Allie merasa tidak benar-benar berada dalam rumah.
Film Rumah untuk Allie mengingatkan satu hal penting, bahwa tindak kekerasan dalam bentuk apapun. Baik fisik, verbal, maupun psikis mampu melukai orang lain. Meskipun lukanya tidak benar-benar terlihat dari luar.