Mubadalah.id – Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam tulisannya di Kupipedia.id menjelaskan ketika kita masuk ke belantara fiqh haid, nifas, dan istihadhah, maka kita akan menemukan banyak rumusan hukum yang begitu rumit dan jauh dari realitas kehidupan perempuan.
Nyai Badriyah menegaskan bahwa tanpa mengurangi penghargaan atas kesungguhan para ulama, sebagian besar hukum-hukum itu tidak sepenuhnya mengakomodir kemampuan perempuan dalam menjalankannya.
Salah satu contohnya adalah pembagian perempuan istihadhah menjadi beberapa kategori: mubtadi’ah (pemula) dan mu’tadah (yang sudah biasa). Yang kemudian masih dibagi lagi menjadi mumayyizah (bisa membedakan antara darah haid dan istihadhah) dan ghairu mumayyizah (tidak bisa membedakan).
Empat kategori ini disertai dengan batasan-batasan hukum yang sangat teknis dan kompleks. Mulai dari mengenali warna darah, menghitung durasi keluarnya, hingga menentukan waktu berhenti.
Secara teoritis, pembagian ini mungkin tampak sistematis. Namun dalam kenyataan, sangat sedikit perempuan yang benar-benar bisa memastikan ia termasuk kategori yang mana.
Padahal, seluruh ketentuan hukum tentang istihadhah dalam fiqh berdasarkan kategori tersebut. Akibatnya, jika seorang perempuan tidak dapat memastikan ia masuk ke kelompok mana. Maka hukum itu menjadi tidak efektif di lapangan. Ironisnya, hukum yang seharusnya memudahkan malah justru menciptakan kebingungan baru.
Contoh lain yang dikritisi oleh Nyai Badriyah adalah soal batas minimal haid. Imam Syafi’i, misalnya, menetapkan bahwa batas minimal haid adalah sehari semalam.
Ketentuan ini mungkin terlihat sederhana. Tetapi masalah muncul ketika para pengikut mazhab Syafi’i menjelaskan bahwa jika seorang perempuan haidnya tidak lancar. Misalnya darah keluar tidak terus-menerus selama 24 jam penuh. Maka haidnya tidak sah. Dan konsekuensinya, seluruh shalat yang ia tinggalkan selama masa itu harus ia qadha. []








































