• Login
  • Register
Selasa, 8 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Gagal Mudik Bukan Sebab Pandemi, Tapi Karena Aku Perempuan

Bagi beberapa wilayah di Indonesia, walau kini bumi telah menginjak Abad ke-21, masih saja ada yang mengatakan jika perempuan dilangkahi adik menikah akan seret dapat jodoh. Pertanda tidak laku dan sebagainya. Jahatnya, situasi ini dapat menjadi aib bagi keluarga terkait

Aisyah Nursyamsi Aisyah Nursyamsi
15/06/2022
in Personal
0
Karena Aku Perempuan

Karena Aku Perempuan

298
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sepertinya di tahun ini saya tidak lagi bisa kebal dari perasaan sentimentil. Melihat orang-orang mengunggah persiapan untuk mudik di media sosial, rasanya air mata akan runtuh. Karena aku perempuan, yang kerap mudah rapuh.

Padahal sudah sengaja menghindar, tapi tetap saja. Postingan kawan yang sedang berada dalam perjalanan di atas kereta, kapal dan pesawat menuju rumah tetap terpampang dengan indahnya di media sosial. Dada pun bergemuruh, diikuti degupan jantung yang gedebak-gedebuk seperti beduk yang ditabuh.

Salah sendiri masih punya nyali mengintip di medsos!

Sebenarnya bukan tahun ini saja aku memutuskan tidak pulang dan berencana akan mengurung diri di kos saat hari Raya Idulfitri tiba. Kalau tidak salah ingat, terhitung sudah lima tahun rasanya tidak merasakan sahur dan berbuka bersama keluarga.

Bukan melebih-lebihkan. Tapi euforia saat salat Eid memang tidak begitu terasa. Mungkin karena sudah bertahun-tahun tidak pulang, saya pun lupa bagaimana rasanya merayakan lebaran bersama keluarga.

Baca Juga:

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

Film Azzamine: Ketika Bentuk Proteksi Orang Tua Kepada Anak Perempuan Disalahartikan

Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

Duh terkesan mengeluh.

Kenapa tidak pulang? Tampaknya ini sebuah pertanyaan yang sepertinya biasa saja. Tapi tidak enteng saat akan dijawab. Seperti ada pasak besi yang menggantung di tenggorokan. Menahan agar lidah tidak berupaya mengeluarkan kosakata apa pun.

Jika ditanya oleh kerabat atau handai taulan mengapa tidak pulang, maka saya akan menjadikan pekerjaan sebagai kambing hitam. Tidak bisa pulang, tidak ada libur. Sebuah jawaban formalitas agar tidak diburu rasa ingin tahu lebih lanjut.

Entah mengapa rasanya tidak enak ditanya-tanya kenapa tidak pulang, lalu berlanjut ke pertanyaan yang kurang nyaman. Biasanya berujung pada sekadar keingintahuan belaka.

Lalu kenapa tidak pulang? Sejujurnya karena aku perempuan, pertanyaan itu juga terus bercokol di dalam kepala. Mungkin rasa rindu akan halaman terkalahkan oleh satu gundukan yang bercokol jumawa di dalam jiwa. Aku sendiri bingung mendeskripsikan gundukan tersebut.

Sedihkah? Galau? Atau perasaan bersalah berakumulasi pada ingin memarahi takdir. Bukan menyesal, terkadang terlahir menjadi perempuan kerap bikin kesal luar dalam. Kenapa?

Karena Aku Perempuan terbiasa dengan Stigma

Karena aku perempuan, sepanjang hidup sudah dihajar oleh stigma bentuk raga yang tidak sesuai dengan standar kecantikan duniawi. Secara pribadi, standar ini tidak lah jadi masalah. Namun orang-orang sekitar bahkan keluarga kerap ‘mencemaskan’.

Engkau perempuan, punya berat tubuh yang berlebih siapa yang mau. Perempuan harus begini, begitu dan bla-bla. Awal-awal cukup memengaruhi kondisi psikis, tapi belakangan kalimat yang unfaedah telah terlupakan dengan aktivitas yang jauh lebih bermakna.

Tapi dua tahun terakhir, saya kembali babak belur dan tidak bisa dialihkan kemana-mana. Bahkan jika mengajak diri untuk memesan kopi kesukaan di tempat langganan, atau membeli buku idaman, tetap saja babak belur. Dan berimplikasi pada putusan tidak ingin pulang.

Dua tahun lalu, pandemi yang menampar-nampar tanah air. Tahun ini saya yang ditampar-tampar kehidupan. Sebagai perempuan yang merantau dan berupaya hidup mandiri, tidak pulang adalah risiko. Begitu pun ketika adik perempuan saya izin untuk mendahului untuk menikah.

Tidak, dari hati terdalam dan penuh ketulusan, aku sangat berbahagia atas pernikahan adik tercinta. Tapi sulit menenangkan hati jika stigma tidak menyenangkan melekat pada anak perempuan pertama yang belum menikah ketika adiknya melaju ke pelaminan.

Bagi beberapa wilayah di Indonesia, walau kini bumi telah menginjak Abad ke-21, masih saja ada yang mengatakan jika perempuan dilangkahi adik menikah akan seret dapat jodoh. Pertanda tidak laku dan sebagainya. Jahatnya, situasi ini dapat menjadi aib bagi keluarga terkait.

Saya sudah khatam pandangan itu. Bahkan ketika terbang ke kampung halaman, beberapa orang yang datang ‘bersimpati’. Mengingatkan untuk tidak dendam pada adik karena telah dilangkahi (sebuah pandangan aneh).

Lalu ada juga yang mematut aku dari atas hingga bawah, mengomentari bentuk tubuh tidak ideal lah yang jadi penyebab aku belum menikah. Sedikit sedih karena hampir semua orang yang mengenalku tidak menanyakan karir dan pencapaian. Tapi kapan menikah dan bentuk tubuh.

Sekali lagi, semua ucapan mengandung unsur sadisme tidak memengaruhi aku sedikit pun. Tiba ketika orang tua aku menuturkan kebahagiaan mereka adalah melihat aku menikah, hati seketika gamang. Semua benteng itu runtuh dan hancur bagai debu.

Bukan hyperbola. Tapi sedari dulu aku meletakkan kebahagiaan ibu dan ayah di atas segalanya. Bisa dibayangkan bagaimana jika kalimat yang sebenarnya ‘biasa’ saja itu meluncur? Aku seperti seorang atlet terjun payung yang tidak diberi parasut.

Sejujurnya, karena aku perempuan, meyakini jika tiada maksud dari keduanya untuk membuat hati gundah gulana. Memang sudah demikian adanya. Maksud hati yang baik lagi luhur. Tidak ingin melihat sang buah hati sendirian dan kesepian setelah berusia matang.

Sehari dua hari sempat histeris. Tapi meski puluhan minggu kemudian tidak ada air mata, batin bergejolak. Benarkah apa yang aku lakukan tidak membawa dampak apa-apa? Apakah aku tidak bisa membahagiakan keduanya? Bergunakah aku sebagai manusia? Atau jangan-jangan aku sudah menaruh aib dan beban pada keduanya?

Jika menikah menjadi sumber kebahagiaan orang tua pada anak perempuannya, maka mungkin aku telah gagal. Begitu pikirku. Sejujurnya hati sampai saat ini masih limbung. Beruntung masih ada beberapa kawan rasa kerabat dan ia yang terkasih selalu menguatkan.

Sejujurnya pada situasi ini, terasa betul tidak enaknya jadi perempuan. []

 

 

Tags: belum menikahJodohKarena Aku PerempuanStigma Perempuan
Aisyah Nursyamsi

Aisyah Nursyamsi

Melayu Udik yang Ingin Abadi

Terkait Posts

Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sejarah Ulama Perempuan

    Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Hanya Menuntut Hak, Tunaikan Juga Kewajiban antara Orang Tua dan Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kasih Sayang Seorang Ibu
  • Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?
  • Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak
  • From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?
  • Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID