Mubadalah.Id- Beberapa waktu lalu Indonesia berduka. Sulawesi dilanda Gempa Bumi dan Tsunami. Sebagai bangsa, gempa bumi dan tsunami di Sulawesi duka kita bersama.
“Mbak, istri tetanggaku belum ada kabar dari Palu. Kini suaminya resah. Saluran komunikasi tak kunjung terhubung. Sampai hari ini belum ada kepastian setelah gempa dan tsunami kemarin,” tutur sahabatku ketika kami berbincang kemarin pagi.
Tetangga sahabatku itu satu di antara sekian banyak orang yang menanti kabar terakhir orang-orang terkasih di negeri nun jauh di sana. Dia menunggu dengan cemas. Air mata mungkin telah habis, tinggal memasrahkan diri pada Sang Pemilik Kehidupan. Sambil berdoa anggota keluarganya bisa ditemukan, dalam keadaan hidup atau mati.
Bencana alam, di manapun adanya selalu menyisakan duka. Memilih pasrah meski kadang tak tahu lagi bagaimana memaknai bencana. Dalam situasi serba mencekam, selain kehilangan nyawa orang-orang tersayang, rumah sebagai tempat berlindung pun luluh lantak rata dengan tanah.
Ironisnya, dalam situasi demikian pilu masih saja ada orang-orang yang mempolitisir. Mengaitkan bencana dengan dengan peristiwa politik tertentu yang terjadi sebelumnya. Ada juga yang menganggap bencana sebagai azab. Sebuah hukuman dari Tuhan. Sungguh, di mana rasa kemanusiaan orang-orang itu bersembunyi?
Baca juga: Memprioritaskan Anak dan Perempuan dalam Situasi Bencana
Mengapa kemanusiaan menjadi penting? Karena menurut Yuval Noah Harari dalam buku “Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia”, humanisme telah mengajarkan pada kita bahwa sesuatu nampak terlihat buruk jika menyebabkan seseorang merasa tidak senang.
Seperti pembunuhan itu ‘salah’ bukan karena ‘tuhan tertentu’ pernah berkata “Kalian tidak boleh membunuh!” Namun pembunuhan adalah ‘salah’ karena menimbulkan penderitaan menyakitkan bagi korban, bagi anggota keluarganya, dan bagi sahabat serta teman-temannya.
Jika ditarik dalam konteks bencana alam, apapun yang kita bicarakan selama nadanya masih negatif dan cenderung menyudutkan, maka sama saja kita telah menyakiti para korban, keluarganya, seluruh sahabat dan teman-temannya. Karena musibah gempa bumi dan tsunami di Sulawesi adalah duka kita bersama.
Sudah seharusnya kita harus membantu dengan cara apapun yang bisa kita lakukan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, yang artinya:
“Apakah manusia mengira bahwa sekali-kali tidak ada yang berkuasa atasnya? Dia mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” Apakah dia mengira bahwa tidak ada seorangpun yang melihatnya? Bukankah Kami (Allah) telah memberikan kepadanya dua biji mata, lidah dan dua buah bibir?
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (yang baik dan yang buruk). Maka tidakkah (sebaiknya dengan harta itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? Itu adalah membebaskan perbudakan, memberi makan kepada mereka yang lapar, kepada anak-anak yatim atau kepada orang miskin dan fakir.
Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan tentang kesabaran dan saling berpesan tentang kasih sayang. Mereka adalah golongan orang-orang yang beruntung di sisi-Nya.” (QS. Al-Balad 90 : 5-18).
Jelas pesan Al-Qur’an tersebut menyampaikan bahwa manusia, sendiri-sendiri atau bersama-sama, memberikan perhatian dan pertolongan kepada mereka yang ditimpa kesusahan hidup, menderita dan kelaparan. Terlebih bagi para korban bencana alam seperti di Sulawesi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menetapkan korban meninggal dunia berjumlah 832 orang, akibat tertimpa bangunan dan diterjang tsunami. Korban kemungkinan akan terus bertambah, karena pencarian dan evakuasi masih terus dilakukan.
Saudara kita di Sulawesi yang pasti membutuhkan uluran tangan. Bantuan sekecil apapun akan sangat berarti bagi mereka. Pemerintah dari pusat hingga ke daerah, serta para aparat gabungan TNI Polri, relawan dan seluruh jaringan kemanusiaan yang terlibat dalam proses pemulihan paska bencana, melakukan tugasnya.
Maka sudah sepatutnya kita memberikan dukungan penuh, menyumbangkan sebagian dari harta yang kita miliki. Tanpa harus membuatnya menjadi keruh dengan pernyataan yang tak perlu. Kata-kata yang justru akan semakin melukai.[]