Kedua adalah pendekatan empiris. Pendekatan ini menyatakan realitas sebagai suatu kebenaran yang tidak dapat diingkari. Realitas adalah sesuatu yang nyata. Hamid Abu Zaid mengatakan : Al-Waqi’ huwa al-Ashl wa La Sabila ila Ihdarihi
Al Syafi’i, pendiri mazhab fiqh, telah mnggunakan metode ini untuk keputusan-keputusan fiqhnya, misalnya ketika ia melakukan penelitian untuk menentukan masa haid dan kedewasaan seseorang. Dalam wacana fiqh, metode ini dikenal dengan sebutan “istiqra”. Metoda ini dapat digunakan bukan hanya untuk disiplin ilmu-ilmu alam dan pasti tetapi juga untuk untuk disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora.
Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan : al haqiqah fi al a’yan la fi al zhan (hakikat kebenaran terletak pada wilayah realitas-empiris dan bukan pada wilayah spekulasi intelektual). Pengakuan atas kebenaran realitas empiris juga dikemukakan oleh Al Razi al Syafi’i. Ia mengatakan :
ان الانصاف انه لا سبيل الى استفادة اليقين من هذه الدلائل اللفظية الا اذا اقترنت بها قرائن تفيد اليقين, سواء كانت تلك القرائن مشاهدة او كانت منقولة الينا بالتواتر.
”yang benar adalah bahwa kebenaran makna suatu teks harus didasarkan pada bukti-bukti empiris dan berdasarkan sumber-sumber yang “mutawatir”.
Ketiga, sumber-sumber otoritas keagamaan perlu dikaji dan dianalisis melalui pendekatan konteks bahasa al siyaq al lisani, konteks sejarah social siyaq al zhuruf wa al ahwal al ijtima’iyah, dan kebudayaan siyaq al ahwal al madaniyah. Ketika teks-teks tersebut diturunkan atau disampaikan. Pendekatan ini menjadi sangat penting untuk dapat memahami teks secara benar. Sebab tidak satu tekspun yang dapat melepaskan diri dari kondisi-kondisi, ruang dan waktu. Ia tidak mungkin diturunkan atau disampaikan dalam ruang yang hampa.
Teks bagaimanapun diarahkan kepada orang baik secara individual maupun kolektif dalam nuansa-nuansa, zaman dan tempat tertentu. Konsekwensi logis dari pendekatan ini adalah bahwa keputusan ilmiyah pada suatu masa dan suatu tempat tidak bisa selalu relevan dengan tempus dan lokus yang lain.
Tidak dapat diingkari siapapun bahwa alam selalu memperlihatkan perubahan-perubahan yang tidak pernah berhenti. Dalam arti lain kehidupan manusia selalu dalam proses perubahan yang terus menerus, sebuah proses yang dinamis. Pendekatan teks melalui konteks kesejarahan dewasa ini dikenal dengan istilah pendekatan kontekstual.
Keempat, kaum muslimin tidak menutup diri dari pikiran-pikiran dan produk-produk ilmiyah orang lain hanya karena mereka berbeda agama, jika ia memang bermanfaat. Sikap eksklusif, bertentangan dengan norma ilmu pengetahuan. Watak ilmu pengetahuan adalah inklusif (terbuka) bagi siapa saja dan di mana saja, dan deskriptif. Nabi mengatakan : الحكمة ضالة المؤمن انى وجدها فهو احق بها
Hikmah adalah barang berharga yang hilang dari tangan orang mukmin, dimana dia menemukannya, dia lebih berhak atasnya.” Atau : Al Hikmah dhallah al Mukmin Haitsu ma wajada al mukmin dhallatah falyujmi’ha ilaihi “Ilmu pengetahuan adalah kekayaan yang hilang dari tangan kaum muslimin. Maka jika dia menemukannya hendaklah dia menghimpunnya kembali.”
Dalam konteks Indonesia, kata hikmah ini acap dimaknai sebagai kebijaksanaan atau Kearifan. Maka kata al-Hikam berarti kebijaksanaan-kebijaksanaan, atau Kearifan-Kearifan. Dan al-Hakim diterjemahkan sebagai orang yang bijaksana. Kata pluralnya Al- Hukama, para bijak berstari. Atau al-Arif (plural: arifin). Dalam bahasa Inggris al-Hikmah”diterjemahkan sebagai “wisdom”. Kata ini sering juga diterjemahkan atau disamakan dengan “filsuf” atau sufi.
Ibn Jarir al-Thabari, guru besar para ahli tafsir, menyampaikan pandangan beragam mengenai tafsir atas kata ini. Ia kemudian menyimpulkan bahwa semua pendapat para ulama atas kata ini, meski dengan uraian yang berbeda-beda, pada dasarnya sama, bahwa kata al-Hikmah adalah al-Ishabah fi al-Umur, pemikiran yang tepat. Ini diperoleh dari pemahaman (al-fahm), pengetahuan (al-ilm) dan pengalaman (al-ma’rifah) disertai dengan rasa takwa kepada Allah. (Al-Thabari, Jami’al-Bayan fi Takwil Ayi al-Qur’an).
Ibn Qayyim menyampaikan bahwa : Al-Hikmah adalah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Keduanya dikatakan hikmah karena keduanya terkait dengan tujuan. Suatu wacana tidak tidak mengandung hikmah sepanjang tidak menghasilkan tujuan yang terpuji dan bermanfaat. Maka hikmah adalah wacana yang membimbing manusia ke arah pencapaian pengetahuan yang bermanfaat dan amal (tindakan/perbuatan) yang saleh.
Jika seseorang menyampaikan pikirannya tetapi tidak menghasilkan kebaikan (kemaslahatan) bagi audiensnya, tidak membimbing mereka kepada kebahagiaan mereka, tidak menunjukkan faktor-faktor yang membuat keberhasilannya, tidak pula mencapai tujuannya, tidak karena tujuan itu, dan jika para utusan Tuhan dan kitab-kitab suci tidak dimaksudkan untuk tujuan tersebut, maka dia bukanlah seorang hakim, bijakbestari, kata-katanya tidak bijaksana/arif dan tidak indah.” (Syifa al-‘Alil, hlm. 190).
Akhirnya
Di sinilah tugas kaum muslimin sekarang; mengambil kembali supermasi ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki di manapun dia melihatnya di Timur maupun di Barat, dan bukannya menutup diri atau bahkan menolaknya hanya karena mereka adalah ”the others”.
Akan tetapi satu hal yang harus mendasari seluruh proses ilmiyah tersebut adalah tanggungjawab pengabdian (ibadah) kepada Tuhan. Hal ini berarti bahwa produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi harus berada di bawah cahaya ketuhanan (Nur Ilahi) dan moralitas keagamaan al akhlaq al karimah.
Akhlaq Karimah atau budi pekerti luhur pada hakikatnya adalah moralitas kemanusiaan. Oleh karena itu ia harus diperuntukkan bagi kebaikan dan kemaslahatan manusia, baik secara individual maupun kolektif, tidak untuk menzalimi apalagi merusak tatanan kehidupan mereka. Dengan begitu keilmuan Islam, seharusnya mampu memadukan dimensi rasionalitas dan moralitas. []