• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Gugurnya Basis Narasi Urgensi Poligami

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
08/02/2021
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Poligami

Poligami

349
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Narasi  keagamaan populer, yang disuarakan banyak penceramah, seringkali tidak didukung data yang valid. Salah satunya soal urgensi poligami. Dalam berbagai kesempatan, seringkali mendengar ceramah tentang hikmah poligami yang sama sekali tidak berbasis data akurat, bahkan cenderung bohong, hoaks, dan menyesatkan.

Poligami seringkali dianggap untuk melindungi perempuan. Karena jumlah perempuan jauh lebih banyak dari jumlah laki-laki. Jika tidak dipoligami, kasihan kan nasib banyak perempuan tanpa suami. Demikian biasanya suara sang penceramah.

Darimana mereka punya data? Siapa yang mengeluarkan data itu? Lebih lanjut, benarkah jika perempuan dinikahi secara poligami akan mendapat perlindungan? Emangnya yang dikasihani itu perempuan yang tidak punya suami atau yang dipoligami? Tidakkah banyak perempuan tanpa suami malah justru dapat melindungi dirinya sendiri, mandiri, dan bahagia? Tidakkah banyak perempuan yang dipoligami malah justru mengalami kekerasan, boro-boro dilindungi atau mendapat kenyamanan dan kebahagiaan?

Bahkan, ada yang bilang jumlah perempuan dua kali lipat dari laki-laki. Ada yang bilang empat, bahkan beberapa bilang lebih. Semua ini hanya didasarkan pada persepsi dan narasi keagamaan yang sama sekali tidak faktual. Data faktual 2 kali lipat jumlah perempuan tidak pernah terjadi dalam sensus penduduk Indonesia.

Memang ada kelebihan di beberapa tahun sensus kependudukan. Namun, marjin perbedaanya sangat kecil, tidak lebih dari 1 % sehingga tidak sampai membentuk rasio 2:1 dari jumlah laki-laki. Kelebihan perempuan juga, jika datas sensus didalami lagi, didominasi oleh usia bawah limat tahun dan perempuan lanjut usia.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Saat ini, sensus penduduk Indonesia tahun 2020, dirilis resmi Badan Pusat Statistik, malah mencatat jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan. Dari jumlah total  270,70 juta jiwa, tercatat 136 juta berjenis kelamin laki-laki dan 133,54 juta perempuan. Artinya, 50,58 persesn laki-laki dan 49,42 persen perempuan. Jika dirasiokan, 102 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan.

Ini data yang bersifat publik, masif, dan terlihat kasat mata, jika mengyangkut perempuan, masih sering dikubur dan tidak menjadi pertimbangan narasi dan pandangan keagamaan. Padahal, narasi keagamaan, sebagaimana dalam fiqh dan ushul fiqh harus berbasis pada realits kehidupan. Yaitu sesuatu yang nyata dirasakan dan dialami seseorang dalam kehidupannya. Jika menyangkut perempuan, juga harus berangkat dari pengalaman perempuan. Yaitu segala sesuatu yang nyata dirasakan dan dialaminya dalam kehidupan.

Pengalaman dan realitas kehidupan perempuan ini seringkali tidak dianggap otoritatif sebagai pengetahuan untuk memformulasikan ulang pandangan-pandangan keagamaan, bahkan juga perubahan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan. Padahal dalam fiqh, hukum pernikahan yang awal saja bisa berubah-ubah tergantung pengalaman calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.

Jika perempuan merasa tersakiti, tahu akan tidak dinafkahi, tahu tidak kuat hidup bersama, apalagi akan mengalami kekerasan, pernikahanya bisa makruh dan bahkan haram. Tergantung sejauh mana kepastian hal-hal yang dikhawatirkannya akan terjadi.

Artinya, data dan pengalaman perempuan menjadi sangat penting menjadi basis otoritas narasi keagamaan, seperti fatwa-fatwa lembaga resmi, atau sekedar pandangan lepas para tokoh dan penceramah agama. Sayangnya, narasi agama tentang poligami tidak berdasar pada realitas perempuan.

Biasanya, selain jumlah perempuan yang dianggap lebih banyak, narasi poligami yang populer akan ditambah juga dengan ungkapan bahwa banyak perempuan yang mandul, atau mereka yang mengalami sesuatu yang membuatnya tidak mampu melayani hasrat seks suami. Padahal, ilmu pengetahuan dan data di lapangan, mandul juga dialami laki-laki, serta banyak laki-laki yang juga impotensi, atau tidak mampu memuaskan hasrat seks istri.

Jika kemandulan dan ketidak-mampuan layanan itu dialami perempuan, laki-laki suaminya akan didorong poligami. Sementara jika hal yang sama dialami laki-laki, perempuan yang menjadi istrinya diminta bersabar demi pahala surga. Padahal, jika sabar itu baik, mengapa tidak keduanya diminta bersabar.

Inilah contoh sikap gelap mata dari narasi keagamaan populer yang mengubur pengalaman-pengalaman yang dihadapi perempuan. Jika poligami itu baik bagi laki-laki, untuk memberi jalan baginya karena mengalami ketidak-nyamanan akibat istrinya mandul, atau tidak melayaninya secara prima, seharusnya kesempatan yang sama diberikan pada perempuan.

Yaitu ketika seorang perempuan mengalami ketidak-nyamanan dari laki-laki yang menjadi suaminya. Ia lalu diperkuat untuk bercerai, mandiri, dan berbahagia dengan laki-laki lain, atau tanpa pasangan. Bukan hanya disalahkan sekaligus diminta bersabar dari poligami laki-laki. Perempuan juga manusia yang bisa mengalami kesakitan dan penderitaan yang diakibatkan pernikahan, dan dia berhak untuk terlepas dari penderitaan ini.

Tentu saja yang lebih baik, keduanya didorong untuk memperkuat ikatan pernikahan, saling memahami, saling memenuhi, dan saling bertenggang-rasa. Poligami, sama sekali, tidak selaras dengan relasi kesalingan ini. Bahkan, ia beresiko pada ketidak-adilan, kebohongan, kekerasan, dan penderitaan yang dialami perempuan dan anak-anaknya. Realitas yang dialami perempuan ini adalah sah baginya untuk menolak poligami.

Sebagaimana dikatakan al-Qur’an: monogami lebih menenangkan dibanding poligami (dzalika adna alla ta’ulu, an-Nisa, 4: 3). Ia juga lebih memudahkan pasangan untuk mewujudkan kehidupan sakinah, mawaddah, dan rahmah secara bersama. Sesuatu yang dianjurkan al-Qur’an (QS. Ar-Rum, 30: 21). Ia juga lebih tepat sebagai perilaku -berbuat dari suami kepada istri (mua’syarah bi al-ma’ruf, QS. An-Nisa, 4: 19). Demikianlah monogami menjadi lebih memudahkan pasangan suami istri, dalam kehidupan sekarang ini, untuk mewujudkan keluarga yang Qur’ani. Wallahu a’lam. []

 

Tags: keluargaKesalinganMonogamiperkawinanpoligami
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version