Mubadalah.id – Tahun 1996, Gus Dur memerintahkan Banser untuk menjaga gereja. Waktu itu, ia masih menjabat sebagai Ketua Umum PB NU. Untuk kali pertama, dalam sejarah NU, ada kiai yang sedang menjabat sebagai ketum secara resmi memerintahkan untuk menjaga rumah ibadah umat berbeda agama. Sikapnya itu bukan tanpa alasan, dan juga bukan tanpa pertanyaan.
Menjaga Gereja
Syaifullah dalam artikelnya di NU Online, “Gus Dur, Mengapa Panjenengan Perintahkan Banser Jaga Gereja?” Menjelaskan bahwa kerusuhan Situbondo, yang berujung pada pembakaran gereja, mendorong Gus Dur memerintahkan Banser untuk menjaga gereja di malam natal.
Menurut Syaifullah, perintah Gus Dur secara tidak langsung merupakan bentuk pertanggungjawaban atas penyerangan gereja, yang terjadi di daerah yang termasuk basis NU.
Banyak yang mempertanyakan sikap Gus Dur. Orang-orang mengungkit hukumnya bagaimana. Dalam hal ini, ia berkata, “Kamu niatkan jaga Indonesia bila kamu enggak mau jaga gereja. Sebab gereja itu ada di Indonesia, tanah air kita. Tidak boleh ada yang mengganggu tempat ibadah agama apa pun di bumi Indonesia.”
Ya, begitulah Gus Dur. Sebagaimana kata Buya Husein, dalam Samudra Kezuhudan Gus Dur, ia akan teriak; jangan! ketika melihat gereja-gereja dilempari batu. Sebab, kompas kemanusiaannya tidak membenarkan arah kekerasan tertuju pada siapa pun. Meskipun, kepada orang-orang yang warna baju agamanya berbeda.
Rasa Saling Pengertian
Dalam hal ini, Gus Dur menunjukkan paradigma kemanusiaan yang melewati sekat keummatan. Ia ingin menjaga gereja, bukan sekadar karena merasa bersalah atau malu muka. Bagaimana bisa perusakan gereja terjadi di daerah yang mayoritas masyarakatnya ormas yang ia pimpin.
Lebih dari itu, ia memang tidak membenarkan kekerasan terhadap umat berbeda agama. Kompas kemanusiaannya mengatakan itu arah yang salah dalam keberagaman.
Gus Dur tidak membenarkan cara pandang mayoritarianisme, terlebih yang sudah mewujud dalam bentuk kekerasan. Ia ingin adanya relasi yang baik antara mayoritas dan minoritas. Dan, bukan ekspresi menindas dari si banyak dan sikap tidak hormat dari si sedikit.
Hubungan baik para pemeluk agama, menurut Gus Dur sebagaimana dalam artikelnya “Memahami Pengertian Orang Lain,” sangat bergantung pada sikap hidup masyarakat itu sendiri. Sikap beragama yang terjebak pada ego masing-masing umat tentu tidak akan membawa pada kerukunan yang sebenarnya.
Jika umat Muslim tidak peduli dengan umat Kristiani, begitupun sebaliknya, hasilnya sebagaimana kata Gus Dur, kita tidak akan mampu menciptakan harmoni dalam keragaman kalau semua hanya mementingkan agama sendiri-sendiri saja.
Oleh karena itu, ia ingin gereja dijaga, karena sebagai Muslim jika ia berada pada posisi minoritas sebagaimana umat Kristiani di Situbondo, tentu ia berharap masjid tidak diserang. Gus Dur membahasakan kondisi ini, sebagaimana dalam tulisannya berjudul “Islam dan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia,” sebagai rasa saling pengertian.
Ajaran Gus Dur ini seirama dengan term mubadalah yang merujuk pada makna kesalingan. Dalam hal ini, rasa saling pengertian antara Muslim dengan umat berbeda agama, dapat kita sebut sebagai relasi mubadalah antarumat.
Menurut Gus Dur, “…masalah pokok dalam hal hubungan antarumat beragama, adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekadar saling menghormati.”
Mubadalah Antarumat Beragama
Jadi relasi mubadalah antarumat, dalam ajaran Gus Dur, merupakan indikator penting bagi upaya merawat kerukunan dalam keragaman. Sampai di sini, kita menjadi semakin mengerti kenapa Gus Dur yang Muslim ingin gereja dijaga, jangan dirusak.
Sebab, dalam kerangka saling pengertian, sebagai Muslim Gus Dur, dan semua Muslim, tidak ingin ada yang merusak masjid. Kita ingin masjid terjaga. Itu juga yang menjadi harapan umat Kristiani dan umat agama-agama yang lain.
Dalam paradigma relasi mubadalah antarumat, rumah ibadah yang dimaksud tidak hanya gereja. Masjid, gereja, pura, kuil, klenteng, tempat yang penghayat keramatkan untuk ritus mereka, tempat ibadah Baha’i dan agama-agama yang lain, sebagaimana kata Gus Dur, tidak boleh ada yang mengganggu tempat-tempat ibadah itu di bumi Indonesia.
Saya jadi ingat, beberapa waktu lalu ketika sedang melakukan penelitian di Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara, saya mendengar penuturan dari masyarakat setempat perihal ekspresi kerukunan seperti yang Gus Dur maksud.
Tepatnya, di Desa Dumagin A (mayoritas Kristen) dan Dumagin B (mayoritas Islam) punya kebiasaan saling jaga rumah ibadah pada momen natal dan idul fitri. Pun, punya kebiasaan saling bapasiar (silaturahmi) di momen hari besar masing-masing umat.
Saya tidak mengklaim bahwa ekspresi saling pengertian itu sebab pengaruh Gus Dur. Terlalu jauh rasanya untuk membuat cocokologi akan hal itu. Dan lagi, kondisi-kondisi saling pengertian kedua masyarakat sudah mentradisi lama. Namun, saya ingin bilang bahwa kearifan seperti yang Gus Dur pikirkan ternyata bukan hal yang tidak mungkin. Bahkan, sebenarnya sudah mewujud sebagai kearifan tradisi di berbagai masyarakat Indonesia.
Dan, sebagaimana menurut Gus Dur, “kalau masih diinginkan bangsa kita yang demikian heterogen dapat mengembangkan diri menjadi bangsa yang kukuh,” maka kearifan saling pengertian antarumat beragama penting untuk kita jaga. []