Mubadalah.id – Dalam riwayat Imam Bukhari, penggalan teks larangan perempuan bepergian tanpa mahram diteruskan dengan larangan bepergian (bagi semua orang terutama laki-laki) untuk ke tempat lain, selain Masjid al-Haram, Masjid Nabawi Madinah, dan Masjid al-Aqsha di Palestina.
Namun, para ulama fikih memahami penggalan kedua sebagai keutamaan tiga tempat tersebut, bukan larangan bepergian ke tempat selain tiga tempat tersebut, Padahal struktur bahasa yang digunakan sama persis.
Dari Abu Sa’id al-Khudriy r.a., dari Nabi Saw, bersabda: “….. dan juga tidak (boleh) perjalanan dilakukan kecuali menuju tiga masjid saja: Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsha, dan Masjidku.” (Shahih al-Bukhari, Kitab Fadhl al-Shalah fi Masjid Makkah wa Madinah, no. 1206).
Dalam versi ini, penggalan teks Hadis di atas datang setelah penggalan larangan perjalanan perempuan. Keduanya juga menggunakan struktur kalimat yang sama:
“Tidak (boleh) ada perjalanan, kecuali…”
Artinya, kedua penggalan Hadis ini harus kita pahami dalam satu spirit, yaitu tentang anjuran, kebaikan, dan keutamaan.
Bukan tentang larangan mutlak, yang tidak bisa kita tawar, dan tanpa ada alternatif yang memberikan jalan bagi perempuan untuk melakukan perjalanan.
Perempuan yang bepergian dengan kerabat dekat laki-lakinya itu adalah baik karena dapat kita percaya akan melindungi dan tidak merepotkan.
Tidak Boleh ada Larangan
Namun, juga sama sekali tidak boleh ada larangan baginya, jika tanpa mahram. Apalagi jika perjalanannya aman dan baik baginya.
Dari Adi bin Hatim berkata: “Suatu saat aku sedang bersama Nabi Saw, lalu ada seorang laki-laki datang mengadu kemiskinan hidupnya. Seorang yang lain mengadu perampokan yang terjadi padanya di jalan.
Lalu Nabi bertanya (kepadaku): “Wahai Adi, kamu tahu Kota Hira?” Aku menjawab: “Tidak pernah melihatnya, tetapi sudah pernah mendengar tentangnya.”
Lalu Nabi Saw. berkata: “Suatu saat, jika umurmu panjang, kamu akan melihat seorang perempuan berani bepergian (sendirian) dari Kota Hira (di Irak, mengunjungi Mekah).”
“Sehingga bisa tawaf di Ka’bah dan tidak ada yang kita khawatirkannya pada siapa pun (karena aman), kecuali (ketakutannya akan berbuat salah kepada) Allah Swt.” (Shahih al-Bukhari, Kitab al-Manaqib, no. 3637).
Teks Hadis ini menggambarkan tentang perampokan yang sering terjadi pada saat itu. Lalu Nabi Saw. bercerita, suatu saat kondisi akan aman dan perempuan dapat melakukan perjalanan dengan penuh rasa aman.
Teks ini mengisyaratkan tentang makna mahram bagi perjalanan perempuan, yaitu untuk keamanan dan perlindungan, juga memprediksi kondisi aman dalam perjalanan.
Sehingga perempuan dapat melakukan perjalanan jauh tanpa harus bersama mahram. Teks Hadis serupa dari riwayat Ahmad menyebutkan tentang kondisi perjalanan perempuan tanpa perlindungan mahram ini (Musnad Ahmad, no. 19688). []