Mubadalah.di Salah satu pertanyaan yang muncul ketika aku berbicara tentang pentingnya memaknai teks-teks hadits dengan visi Islam rahmatan lil ‘alamin adalah makna dari hadits sujud istri pada suami perspektif mubadalah. Bagaimana memaknai hadits ini dengan metode Qira’ah Mubadalah? Demikian pertanyaan yang lebih eksplisit.
“Kamu yakin dan menerima teks hadits ini?”, Aku balik bertanya.
Pertanyaan ini penting karena jika seseorang dengan keilmuan, atau pilihannya, sudah tidak menerima suatu teks hadits, maka tidak diperlukan lagi langkah berikutnya: memaknai dengan Qir’ah Mubadalah. Bagi Syekh Abu al-Fadl, misalnya, teks hadits seperti ini tidak patut diterima dan diamalkan karena bertentangan dengan dasar-dasar kebaikan dan akhlak karimah yang diajarkan Islam.
“Justru aku bertanya: karena aku meyakini hadits yang sahih, apalagi jika diriwayatkan Sahih Bukhari dan Muslim”, katanya.
“Apakah sudah pernah baca atau dengar teks hadits ini langsung dan utuh?, tanyaku.
“Belum”, jawabnya.
“Kalau begitu, kira-kira: apa makna dari hadits tersebut? Apakah berarti seorang perempuan harus, atau boleh, sujud pada suaminya?
“Ya nggak dong, kan sujud hanya kepada Allah Swt. Sementara antar makhluk, atau antar manusia, siapapun, adalah haram hukumnya”.
“Kalau sujud pada manusia itu haram, lalu kira-kira apa makna hadits sujud istri pada suami itu?”.
“Menurutku sih, artinya, seorang istri harus menghormati suaminya. Sementara caranya menghormati bisa dikembalikan ke budaya, tradisi, atau kebiasaan masing-masing, selama tidak diharamkan Islam”.
“Nah, kalau maksudnya: menghormati: tidakkah seorang laki-laki juga harus menghormati istrinya? Bahkan, tidakkah Islam mengajarkan seluruh umatnya untuk saling menghormati satu sama lain? Apalagi di dalam kehidupan rumah tangga, saling menghormati adalah salah satu aspek dari “saling berbuat baik” atau mu’asyarah bil ma’ruf yang menjadi pilar relasi pasutri yang diperintahkan al-Qur’an (QS. An-Nisa, 4: 19)”. Demikianlah, secara singkat, makna hadits sujud istri pada suami perspektif mubadalah.
Nabi Saw, tentu saja, membicarakannya dengan pengandaian sujud untuk menegaskan betapa pentingnya penghormatan istri pada suami. Karena berada dalam satu rumah, berdekatan, dan sering bertemu. Jika tidak ada penghormatan dari istri, maka suasana rumah tangga akan sulit untuk dibangun sebagai “rumahku surgaku”. Hal yang sama, dan persis, adalah juga penghormatan suami pada istri. Karena alasan yang juga sama persis.
Tentu saja, penghormatan ini penting karena suami adalah manusia yang bertanggung-jawab dan berjasa pada istrinya. Hal yang sama, dan persis, adalah sang istri adalah manusia yang juga bertanggung-jawab dan berjasa pada suaminya. Dalam Islam, penghormatan tidak didasarkan pada kelelakian, atau penis belaka, karena ini urusan tubuh dan fisik. Penghormatan dalam Islam didasarkan pada kemanusiaan (QS. Al-Isra, 17: 70), dan lebih lagi pada keimanan dan ketakwaan (QS. Al-Hujurat, 49: 13). Sesuatu yang sesungguhnya perempuan juga menjadi subyek yang sama persis dalam Islam.
Teks hadits sujud istri sendiri tidak diriwayatkan Imam Bukhari maupun Muslim. Melainkan, Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Ibn Majah, dan Imam Ahamd, dengan berbagai riwayat dari Sahabat yang berbeda-beda, dan dengan cerita yang berbeda-beda.
Abu Dawud bercerita tentang Sahabat Qays bin Sa’d yang datang dari daerah Hiyarah, melihat penduduknya biasa sujud pada para pemimpin mereka. Lalu, ketika pulang ke Madinah ingin sujud kepada Nabi Saw. Lalu Nabi Saw menimpali: “Tidak boleh, jikapun ini dibolehkan, maka istri yang aku minta sujud pada suami”. Ibn Majah meriwayatkan hal serupa, tetapi dengan latar belakang berbeda. Yaitu, sahabat Mu’adz bin Jabal ra yang baru pulang dari Syam.
Sementara Abu Hurairah ra, sebagaimana dalam riwayat Imam Turmudzi, langsung kepada pernyataan Nabi Saw, tanpa ada latar belakang kisah dari daerah lain. Riwayat Imam Ahmad lebih beragam lagi dan dari berbagai Sahabat Nabi Saw. Di samping riwayat-riwayat yang serupa, juga ada riwayat tentang unta yang datang dan langsung bersujud pada Nabi Saw. Lalu, para sahabat meminta izin untuk sujud pada Nabi Saw. Jawaban Nabi Saw, tentu saja, sama sebagaimana riwayat-riwayat yang lain.
Jadi, jika hadits sujud ini maknanya adalah penghormatan istri pada suami, maka hal yang sama bisa kita katakan: Jika saja dibolehkan, maka suamipun seharusnya bersujud pada istri. Karena istri adalah manusia yang paling dekat, bertanggung-jawab pada banyak hal dalam urusan rumah tangga, dan berbuat baik pada sang suami. Dus, hadits sujud istri pada suami perspektif mubadalah juga bermakna sujud suami pada istri. Dengan makna yang sama, yaitu penghormatan.
Sebagai norma dasar dan pilar berumah tangga, dalam Islam, tentu saja, pasangan suami dan istri dituntut untuk saling menghormati satu sama lain. Norma ini tidak saja selaras dengan akhlak karimah yang diajarkan Islam, tetapi menjadi pondasi yang kokoh bagi keutuhan rumah tangga dan modal dasar bagai relasi yang sehat, baik, saling menguatkan, dan saling membahagiakan. Wallahu a’lam. []