Ada hadits sahih yang sangat populer di kalangan ulama, cendekiawan dan juga orang awam. Yaitu tentang laknat malaikat terhadap istri yang menolak ajakan suaminya untuk berhubungan intim. Sayangnya, oleh banyak pihak teks hadits ini diulang-ulang hanya untuk menekankan kewajiban istri melayani seks suami, tanpa ada penekanan yang sama kepada para suami untuk memenuhi kebutuhan istri, seks maupun yang lain.
Narasi tafsir seperti inilah yang membuat agama terkesan bias, timpang, dan hanya memihak laki-laki. Padahal, teks hadits ini bisa saja dijelaskan dalam perspektif keluarga mubadalah, dimana masing-masing, suami dan istri, dituntut untuk selalu membangun hubungan dengan pernyataan dan perilaku positif. Pada saat yang sama, keduanya dituntut menjauhkan diri dari segala pernyataan dan perilaku buruk yang bisa menghancurkan hubungan.
Teks hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, dua tokoh ulama paling kredibel dalam hal kesahihan hadits. Ditambah beberapa ulama hadits yang lain, seperti Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud. Karena itu, kita menerimanya sebagai hadits sahih. Tetapi kita perlu memaknainya agar selaras dengan visi Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan misi akhlak mulia, yang memberi kemaslahatan secara setara kepada laki-laki dan perempuan.
Di sinilah kerja metode tafsir Qira’ah Mubadalah menjadi relevan. Metode ini berawal dari keyakinan bahwa suatu teks hadits, seperti teks hadits laknat malaikat ini, tidaklah berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari bangunan besar ajaran agama Islam, yang visinya rahmatan lil ‘alamin dan misinya akhlak mulia.
Pemaknaanya harus mengandung visi dan misi ini. Jika makna yang dikeluarkan dari suatu teks justru bertentangan dengan visi dan misi ajaran Islam, ia tidak bisa diterima, dan harus digali kembali sampai menemukan makna yang konstruktif dan kohesif dengannya.
Untuk menemukan makna kohesif ini, dalam konteks hadits laknat tersebut, kita perlu kembali terlebih dahulu kepada teks-teks dan ajaran-ajaran prinsip dalam Islam. Di antaranya adalah teks dan ajaran mengenai pentingnya berbuat baik kepada orang lain, saling menghormati, saling menolong dan kerjasama. Sebaliknya, juga teks dan ajaran yang melarang untuk berbuat buruk, menzalimi, tidak adil, dan menang sendiri. Teks-teks mengenai hal ini banyak dan hampir dipahami semua orang dan semua umat Islam.
Dalam relasi suam istri, berbagai ayat telah menegaskan ajaran-ajaran prinsip ini secara khusus. Misalnya, bahwa relasi pasutri ini sebagai hubungan pasangan dan mitra (zawaj, QS. Ar-Rum, 30: 21) untuk kebahagiaan bersama (sakinah) dan saling memadu cinta kasih (mawaddah wa rahmah); bahwa keduanya harus selalu saling berbuat baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf, QS. An-Nisa, 4: 19); dan termasuk relasi seksual, masing-masing, suami dani istri, diilustrasikan sebagai pakaian, satu kepada yang lain (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn, QS. Al-Baqarah, 2: 187). Dengan pondasi ajaran-ajaran seperti ini, kita memaknai teks hadits laknat itu secara kohesif dan koheren.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ (صحيح البخاري، رقم الحديث: 3272).
Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasululullah Saw bersabda: “Ketika seorang laki-laki mengajak istrinya baik-baik ke ranjang (berhubungan seks), lalu sang istri menolak keras (membangkang), sehingga sang suami marah besar kepadanya, maka malaikat akan menjauhkannya (laknat) dari kasih sayang (rahmat) sampai subuh.” (Sahih Bukhari, no. hadits: 3272).
Dengan merujuk pada teks dan ajaran prinsip tersebut di atas, teks hadits ini bisa dijelaskan dalam perspektif keluarga mubadalah. Dalam keseharian relasi suami istri, akan ada perilaku penghancur dan perilaku pembangun hubungan. Penghancur seperti cemberut, sinis, merendahkan, marah, kekerasan, atau abai terhadap pasangan. Sedangkan pembangun seperti senyum, ramah, mendukung, menemani, mendukung, memenuhi kebutuhan, dan perilaku baik yang lain.
Tentu saja, relasi suami istri harus selalu diperkuat dengan perilaku-perilaku pembangun bukan penghancur hubungan. Untuk memperkuat hubungan, perilaku pembangun harus lebih banyak dari perilaku penghancur. Ibarat rekening bank, setiap suami atau istri melakukan perilaku pembangun, maka ia sedang setor pada rekening hubungan mereka. Sebaliknya, perilaku penghancur atau buruk adalah tarikan dari rekening hubungan tersebut. Rekening hubungan yang kuat adalah ketika setoran lebih banyak dari tarikan, lima banding satu.
Di antara perilaku pembangun hubungan ini, ada lima hal utama yang disebut sebatai bahan bakar cinta. Yaitu kalimat positif, kehadiran yang berkualitas, kontak fisik, kado atau hadiah, dan memberi layanan. Kelima hal ini hampir dirasakan dan dibutuhkan oleh semua orang dalam pasangan suami dan istri. Tetapi tidak semua orang membutuhkan kelima-limanya. Bisa saja, ada orang yang cukup satu, dua, atau lebih dari lima bahan bakar cinta tersebut. Begitupun level, kadar, urutan, kualitas, dan kuantitasnya berbeda dari satu orang ke orang lain.
Masing-masing, suami dan istri, harus bisa mengenali kebutuhan dirinya untuk diungkapkan kepada pasangan dan minta dipenuhi. Ia juga harus mengenali kebutuhan pasangannya untuk dipenuhi dan dilayani. Mengenali, berekspresi, berkomunikasi, dan saling melayani menjadi niscaya dalam membangun hubungan yang kuat dalam relasi suami istri. Tentu saja tempat, waktu, dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan pasangan juga perlu diperhatikan.
Ketika bahan bakar berkurang, apalagi minus, maka hubungan bisa buruk, bahkan macet. Semua menjadi serba salah, gampang tersinggung, dan mudah marah. Pada kondisi seperti ini, tentu saja hubungan menjadi sulit untuk saling kasih dan cinta (rahmah wa mawaddah), rumah tangga pun menjadi sulit untu bahagia (sakinah).
Kondisi inilah yang disebut teks hadits di atas sebagai “laknat” itu. Dalam bahasa Arab, laknat adalah terjauh dari rahmah, atau kasih sayang. Hal ini terjadi karena, sebelumnya didahului oleh suami yang marah-marah dan istri yang menolak keras (tanpa alasan logis) ajakannya berhubngan intim.
Hubungan intim adalah bagian dari bahan bakar cinta itu, yaitu kontak fisik. Yang jika menjadi kebutuhan suami, dan tidak dipenuhi istri, tentu saja akan merusak dan menghancurkan hubungan. Apalagi suami, dalam Islam, tidak diperkenankan memperoleh hal tersebut selain dari istrinya. Ia bisa marah, istri terkena laknat, artinya terjauhkan dari rahmat (kasih sayang), dan terkuraslah rekening hubungan mereka.
Istri harus memenuhi kebutuhan seks suami, sebagai bahan bakar cintanya yang akan memperkuat hubungan mereka berdua. Apalagi, dalam Islam, hanya sang istri yang diperbolehkan memenuhi kebutuhan seks seorang laki-laki. Ketika sang istri sakit, lelah, atau sedang tidak mood, tentu saja suami harus mengerti dan memahami. Ia harus mendukung istrinya, bisa sambil membicarakan cara atau waktu lain mengenai pemenuhan kebutuhan seksnya tersebut.
Semangat hadits ini, secara mubadalah, juga menuntut suami untuk mengenali dan memenuhi kebutuhan bahan bakar cinta istrinya. Suami yang diajak, atau diminta baik-baik oleh istrinya, untuk memenuhi kebutuhan cinta sang istri, sehingga sang istri menjadi marah, juga sama akan terlaknat, atau persisnya terjauhkan dari rahmat kasih sayang. Artinya, hubungan mereka akan lemah, buruk, bahkan macet, akibat perilaku suami yang tidak memenuhi yang membuat istrinya menjadi marah.
Jadi, teks hadits laknat tersebut di atas, jika dipahami secara mubadalah, dalam konteks psikologi pasutri, adalah soal pemenuhan bahan bakar cinta yang jika tidak dilakukan akan menimbulkan kehancuran hubungan. Istri yang tidak memenuhi kebutuhan suami, maupun suami yang tidak memenuhi kebutuhan istri. Sama saja. Perilaku yang demikian akan menimbulkan hubungan menjadi terlaknat, atau terjauhkan dari kasih sayang. Hubungan menjadi lemah, buruk, macet, bahkan bisa hancur.
Semangat dari teks hadits ini adalah meminta suami maupun istri untuk saling memenuhi kebutuhan bahan bakar cinta masing-masing. Perempuan dari suaminya, dan laki-laki dari istrinya. Pemenuhan ini adalah cara untuk membangun dan memperkuat hubungan mereka, mengisi saldo rekening relasi mereka, dan menumbuhkan cinta kasih mereka berdua. Dengan pemaknaan demikian, maka teks hadits ini menjadi selaras dengan visi rahmatan lil ‘alamin dan misi akhlak mulia. Wallahu a’lam. []