Mubadalah.id – Nabi Muhammad Saw telah memberi panduan kepada istri dan sahabat perempuan, seperti Sayyidah Aisyah dan Fatimah binti Abu Hubaisy, tentang tata cara bersuci, kapan boleh shalat, dan bagaimana membedakan darah haidh dan istihadhah.
Namun dalam perkembangan ilmu fiqh, pembahasan ini menjadi semakin rumit dan detail. Ulama membahas panjang lebar tentang warna darah, lama haidh, serta hukum-hukum cabang yang sering kali membingungkan perempuan.
Bahkan dalam beberapa kitab fiqh, perempuan yang mengalami istihadhah dianggap tidak stabil, karena dianggap selalu dalam kondisi hadas.
Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam tulisannya di Kupipedia.id menyebut, pembahasan ini dalam batas-batas tertentu mengandung bias gender. Bias ini tampak ketika tubuh perempuan dikontrol dengan sangat ketat oleh tafsir keagamaan laki-laki. Sementara pengalaman biologis perempuan sendiri jarang menjadi sumber pengetahuan.
Padahal, Islam tidak pernah melarang perempuan berpikir dan berijtihad atas tubuhnya sendiri. Dalam sejarah Islam, para perempuan seperti Aisyah RA justru menjadi rujukan utama dalam hal-hal yang berkaitan dengan haidh. Artinya, otoritas pengetahuan tentang tubuh perempuan seharusnya kembali ke perempuan itu sendiri.
Membebaskan Tubuh Perempuan dari Stigma
Menstruasi bukan aib. Nifas bukan kelemahan. Dan istihadhah bukan dosa. Ketiganya adalah bagian dari fitrah biologis perempuan yang telah Tuhan atur dengan penuh hikmah. Maka, sudah saatnya masyarakat Islam memandang persoalan reproduksi perempuan dengan perspektif keadilan dan kemanusiaan, bukan hanya hukum dan larangan.
Karena pandangan Islam sesungguhnya sangat menghormati perempuan. Nabi SAW bersabda, “Perempuan adalah saudara kandung laki-laki (asy-syqāiq).”
Hadis ini menunjukkan tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, semua tafsir dan fiqh yang menempatkan perempuan seolah-olah lebih rendah. Maka perlu kita tinjau ulang dengan pendekatan fiqh yang berkeadilan gender, sebagaimana pandangan para ulama perempuan seperti Nyai Hj. Badriyah Fayumi dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
KUPI berpendapat, pengalaman biologis perempuan adalah sumber pengetahuan keagamaan yang sah. Ia tidak boleh kita abaikan dalam tafsir maupun hukum Islam. Sebab, mengabaikan pengalaman perempuan sama saja menafikan separuh realitas umat. []








































