Mubadalah.id – Jika merujuk ulama kontemporer, Abd al-Hakim al-Unais tentang hak anak, maka ia menetapkan bahwa hak anak wajib diberikan sejak sebelum lahir.
Penetapan hak anak wajib diberikan sejak sebelum lahir semacam ini, merupakan hal yang ideal namun sekaligus problematis. Sebab pembahasan hak anak serupa itu mengabaikan mereka yang secara faktual lahir apapun status perkawinan kedua orang tuanya.
Tuntutan atas hak itu, dapat mengabaikan hak anak itu sendiri. Sebab tuntutan itu tak terkait dengan kebutuhan anak melainkan kedua orang dewasa yang melahirkan mereka ke dunia.
Dalam hukum Islam, hak anak itu, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak, berawal dari seseorang sudah hidup, minimal menjadi janin yang telah bernyawa dalam kandungan.
Ayat-ayat yang menjadi rujukan juga tentang pernikahan dan hubungan intim antara suami dan istri, yang menyimpulkannya sebagai jalan awal bagi lahirnya, kelak, seorang anak.
Pada hak yang ke-3, menyebutkan bahwa, “Seorang anak berhak agar lahir ke muka bumi dengan merujuk pada ayat hubungan intim.” (QS. al-Baqarah: 187 dan 223).
Pada hak yang ke-41, menyebutkan bahwa, “Di antara hak anak yang akan meniupkan ruh ke dalamnya, yang menjadi urusan Allah SWT karena, Allah sendiri ynag menciptakan manusia dari air mani yang bersih, di dalam rahim yang bersih, yang cocok memperoleh ruh yang akan masuk ke dalamnya.”
Pernyataan hak ke-41 ini berdasarkan pada ayat berikut ini, yang tidak secara jelas mengarah pada apa yang ia katakan :
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu hanya memiliki pengetahuan sedikit. (QS. Al-Isra : 85). (Rul)