Mubadalah.id – Di balik kemajuan zaman dan jargon inklusivitas yang sering digaungkan, masih banyak penyandang disabilitas yang harus memperjuangkan hak bekerja secara layak dan setara. Padahal, mereka punya keterampilan, semangat, dan tekad yang tak kalah dari siapa pun.
Sayangnya, masih banyak perusahaan yang melihat disabilitas sebagai “beban sosial”, bukan sebagai potensi yang bisa berkembang. Akses kerja yang terbatas, sikap diskriminatif, hingga teknologi yang belum ramah disabilitas masih menjadi tantangan nyata di lapangan.
Namun, tembok tak kasat mata bernama stigma justru sering kali jadi penghalang terbesar. Masih ada anggapan bahwa penyandang disabilitas tidak mampu bekerja setara, hanya cocok di bidang tertentu, atau lebih pantas dikasihani ketimbang diberi kesempatan.
Bekerja sebagai Hak dan Martabat Manusia
Hak untuk bekerja bukanlah hadiah, melainkan hak dasar yang melekat pada setiap manusia. Konstitusi kita menegaskan hal itu dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Kalimat itu sederhana, tapi mengandung makna mendalam karena menegaskan bahwa bekerja bukan sekadar mencari nafkah, melainkan cara untuk mengakui martabat manusia. Ketika seseorang bekerja, ia sedang menegaskan eksistensinya sebagai manusia yang berdaya, mandiri, dan berkontribusi bagi masyarakat.
Bagi penyandang disabilitas, hak untuk bekerja ini dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, khususnya pada Pasal 11 yang menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan di instansi pemerintah, pemerintah daerah, maupun sektor swasta tanpa diskriminasi.
Mereka juga berhak mendapatkan upah yang setara dengan pekerja nondisabilitas untuk jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama, serta memperoleh akomodasi yang layak di tempat kerja.
Selain itu, penyandang disabilitas tidak boleh diberhentikan karena alasan disabilitas dan berhak mengikuti program kembali bekerja. Undang-undang ini menjamin penempatan kerja yang adil dan bermartabat, kesempatan mengembangkan karier, serta hak normatif lain bagi pekerja. Dalam pasal terebut juga mengakui hak penyandang disabilitas untuk berwirausaha, membentuk koperasi, dan membangun usaha mandiri sebagai wujud kemandirian ekonomi.
Lebih lanjut, Pasal 53 menegaskan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD wajib mempekerjakan paling sedikit 2% penyandang disabilitas dari total pegawai. Perusahaan swasta pun memiliki kewajiban serupa, dengan kuota minimal 1% dari jumlah tenaga kerja. Ketentuan ini menegaskan kewajiban semua pihak untuk melaksanakan inklusi kerja sebagai mandat hukum, bukan sekadar wacana.
Namun, di lapangan, implementasi aturan ini masih jauh dari harapan. Banyak instansi pemerintah maupun perusahaan swasta yang belum sepenuhnya memenuhi kewajiban kuota kerja bagi penyandang disabilitas sebagaimana amanat undang-undang. Sebagian bahkan belum memiliki fasilitas dasar seperti akses jalan kursi roda, penerjemah bahasa isyarat, atau pelatihan kerja inklusif.
Islam dan Nilai Keadilan dalam Dunia Kerja
Dalam pandangan Islam, bekerja bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan bagian dari ibadah dan kehormatan diri. Rasulallah SAW bersabda: “Seseorang yang mencari nafkah untuk keluarganya adalah seperti orang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. Thabrani)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa bekerja memiliki nilai spiritual yang tinggi, karena menjadi sarana untuk menunaikan tanggung jawab, menegakkan kemandirian, serta menjaga kehormatan hidup. Islam tidak menilai manusia dari kondisi fisiknya, melainkan dari ketakwaan dan amalnya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Maka, menghalangi disabilitas untuk bekerja berarti mengabaikan nilai ‘adl (keadilan) dan rahmah (kasih sayang) yang menjadi fondasi Islam.
Dalam praktiknya, keadilan menuntut agar setiap orang mendapatkan kesempatan, upah, dan perlakuan di tempat kerja berdasarkan kemampuan dan tanggung jawabnya, bukan perbedaan fisik. Pekerjaan yang inklusif adalah wujud nyata rahmatan lil ‘alamin rahmat bagi seluruh makhluk tanpa terkecuali.
Menjadikan Inklusi sebagai Gerakan Bersama
Apakah ini sudah benar? Inklusi hanya akan bermakna jika semua pihak mewujudkannya melalui tindakan nyata. Pemerintah memiliki peran sentral dalam memastikan kebijakan yang ada benar-benar terlaksana di lapangan. Kita perlu memperkuat pengawasan terhadap pelaksanaan kuota pekerja disabilitas agar ketentuannya tidak berhenti sebagai angka di atas kertas.
Di sisi lain, perusahaan seharusnya memandang keberagaman sebagai potensi, bukan hambatan. Menyediakan fasilitas aksesibel, mentor, dan budaya kerja setara adalah investasi sosial jangka panjang.
Lembaga pendidikan dan masyarakat pun memiliki tanggung jawab moral dalam mengubah paradigma lama bahwa disabilitas adalah kekurangan. Pandangan tersebut perlu digantikan dengan kesadaran bahwa disabilitas adalah bagian dari keberagaman manusia yang harus dirangkul.
Melalui pendidikan inklusif sejak dini, generasi muda akan tumbuh dengan nilai empati, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Bekerja bukan sekadar untuk hidup, tetapi untuk dihormati sebagai manusia yang utuh. Setiap kali kita memberi kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas, kita menegakkan nilai kemanusiaan dalam Islam, yakni keadilan, kasih sayang, dan kesalingan.
Mewujudkan dunia kerja inklusif bukan hanya tentang memenuhi peraturan, melainkan tentang menghidupkan nurani. Karena di hadapan Allah, tak ada yang lebih tinggi dari mereka yang berusaha dengan jujur dan bekerja dengan hati. []











































