Tentang Hilda
Judul Buku: Hilda
Nama Pengarang: Muyassarotul Hafidzoh
Tahun Terbit: Januari 2020
Jumlah Halaman: 501
Bahasa: Indonesia
Genre Buku: Fiksi (Based on true story)
ISBN: 978-602-53480-6-8
Hilda’s Blurb
Hari-hari usai kekerasan seksual yang ia alami, Hilda merasa menjadi manusia paling buruk nasibnya. Sudah menjadi korban kekerasan seksual, pelakunya tidak diadili, hamil diluar nikah, diminta untuk berhenti mengenyam dunia pendidikan oleh pihak sekolah, dikucilkan oleh lingkungannya, hingga melahirkan seorang anak tanpa pendamping (suami). Masih banyak beban-beban lainnya yang harus ia hadapi dan ia tanggung setelah kejadian yang tidak ia kehendaki itu terjadi. Bisakah ia bangkit dan tetap mendapatkan hak-haknya?
The Reason I Read, My Impression and What I Learn
Menjelang pergantian akhir tahun hingga awal tahun 2020 ini, saya mendapat banyak sekali asupan buku-buku secara cuma-cuma yang menunggu untuk saya baca. Salah satunya adalah novel Hilda, tanda tresna dari Bapak Mubaadalah, KH. Faqih Abdul Kodir untuk teman-teman yang dinyatakan lolos sayembara beliau.
Jujur, awalnya saya tidak mengetahui tentang buku ini, dan baru tahu setelah Beliau menceritakan sekilas novel ini dalam acara Women Writer’s Conference. Padahal jauh-jauh hari teman-teman saya sudah membaca sebagian ceritanya di laman Fatayat NU DIY. Maka saat buku ini tiba, saya pun merasa harus mendahului buku ini diantara buku-buku yang lainnya.
Saat membuka bab satu novel ini pertama kali, saya sudah menyiapkan pensil dan membaca dengan perlahan-lahan. Memang tujuan saya tidak untuk membaca cepat, apalagi sebelumnya saya membaca endorsement dan kata pengantarnya. Dan ternyata pilihan saya benar adanya. Setiap halaman dan part pada buku ini mengandung banyak ilmu, perspektif Mubaadalah dan hikmah yang bisa dipetik.
Penulis menceritakan Hilda yang bangkit dari keterpurukan hingga menemukan cintanya pada Gus Wafa dengan sangat apik yang mana cinta Wafa pada Hilda nyaris seperti Laila Majnun, Wafa dimabuk kepayang karena ternyata hanya Hilda lah satu-satunya perempuan yang mampu membuat degup jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berusaha untuk mendapatkan perhatian Hilda yang justru takut untuk membuka hati karena masa lalunya yang ia anggap begitu kelam.
Bahkan dari perjalanan kisah yang haru biru ini, penulis mampu menyisipkan problematika seputar ekstrimisme, disabilitas, poligami, kekerasan seksual, maupun kesetaraan gender dalam perspektif Mubaadalah mengalir tanpa dipaksa-paksakan sehingga saya sebagai pembaca pun tidak merasa bosan dan tidak merasa digurui ketika scene-scene tersebut berlangsung.
Melalui buku ini, tokoh Hilda membuat saya kembali mengingat masa lalu. Bukan, bukan karena saya menjadi korban seperti Hilda. Masa lalu saya tidak sesuram itu meskipun novel ini based on true story. Hanya saja tentu dalam kehidupan setiap individu, pastilah ada hari-hari dalam menapaki tangga kehidupan, seseorang pernah merasa jatuh kemudian bangkit, tak lama terpuruk lagi sehingga membuat jejak yang entah kapan akan pudar atau bahkan sirna.
Sama seperti Hilda yang masa lalunya kelam namun ia tetap iman dan yakin kepada Allah, meskipun ternyata ia harus jatuh lagi menerima kenyataan pahit dalam kisah pertunangannya bersama Syam, dan bahkan akhirnya lagi-lagi hari pahit menghinggapinya dimana ia tak sengaja dipertemukan oleh pelaku kekerasan seksual. Namun ternyata Hilda adalah sosok yang kuat. Yah, begitulah seorang perempuan jika sudah teguh keyakinannya.
Faidza ‘azamta fatawakkal ‘ala Allah…
Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkal lah kepada Allah.
Setelah hari-harinya terpuruk, Hilda membulatkan tekad untuk bangkit dan tetap meneruskan kehidupannya. Beruntungnya Hilda memiliki Ibu yang sangat baik, tetap menemani dan mengiringi langkah putrinya dengan usaha serta doa meski ia mendapati kenyataan pahit dan merasa gagal menjadi ibu.
Dari sosok Ibu Hilda (Ibu Juju) saya pun menjadi berfkir, apa bisa saya setenang Bu Juju ketika ia dihadapkan kenyataan bahwa anaknya dinodai oleh lelaki tak bermoral? Apa bisa saya setenang Bu Juju yang ingin memberondong banyak pertanyaan namun hanya ucapan dzikir yang ia lontarkan?.
Masya Allah, sesungguhnya polemik Hilda begitu dekat dalam keseharian kita meski problematikanya berbeda. Tentang bangkit, dan berdamai. Tentang menikmati proses menjadi pribadi yang lebih baik untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Berteman dengan waktu meski waktu belum tentu bisa menyembuhkan luka. Namun dengan bertawakal dan percaya kepada Allah bahagia itu pasti tiba. Berbahagialah…
Innallaha yuhibbul mutawakkilin…
Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal.
Favorite Quote
“Ambillah hikmah, ia tak akan merugikanmu, darimanapun ia lahir” al-Sakhawi yang Hilda jadikan sebagai status ketika ia sudah menunggu Wafa namun yang dinanti tak kunjung tiba. Begitulah, sepedih apapun proses kehidupan yang kita alami, memahami dan merasakan emosi memang perlu, namun ambil lah hikmahnya ketika fikiran sudah dalam keadaan jernih.
Rate for Hilda
Untuk sebuah masterpice pertama sastra Mubaadalah, saya secara sukarela memberi bintang 5 dari 5 bintang untuk Hilda. Selamat membaca dan jatuh hatilah pada perspektif Mubaadalah di dalamnya.