Mubadalah.id – Sosiolog asal Indonesia yang kini jadi Professor Emeritus di Monash University, Ariel Heryanto, pernah menulis di Twitter begini: “Selamat Hari Buruh. Juga untuk buruh yang tak suka disebut buruh dan lebih nyaman disebut karyawan, pegawai, dosen, pilot, perawat, desainer, barista, chef, tenaga ahli, dsb.”
Cuitan itu ia unggah pada 2019, sebelum pandemi. Agaknya beliau cukup awas untuk menyebut pusparagam profesi sembari menegaskan bahwa pada dasarnya mayoritas kita adalah buruh. Tak terkecuali mereka yang kerja di sektor formal lembaga negara, atau dalam bidang pendidikan, pertanian, kuliner, maupun di ruang media digital.
Terkait persoalan itu dan momentum menjelang Hari Buruh Internasional (1 Mei) tahun ini, saya ingin mengangkat isu anak muda yang menjadi buruh digital di Indonesia. Terutama mengintip apa saja titik rentan, kendala, dan beban mereka serta bagaimana mereka perlu merespons tantangan rangkap tersebut. Sebelum masuk lebih rinci, kita perlu membaca gambaran besarnya lebih dulu.
Anak Muda, Prekariat dan Kerentanan Berlapis
Anak muda dan mereka yang tergolong fase produktif telah menjadi kelompok usia dominan di Indonesia, negara berpenghuni terbesar ke-4 di dunia. Dari populasi total penduduk Indonesia yang berjumlah 277,7 juta jiwa, ada sebesar 64,3% atau sekitar 178 juta adalah mereka yang berada pada rentang usia 13-44 tahun (data BPS dan PBB terbaru). Inilah kenapa banyak gembar-gembor soal Indonesia akan menuai bonus demografi atau dalam bahasa inggisnya disebut demographic dividend. Suatu surplus tenaga kerja produktif yang akan membangun ekonomi nasional.
Namun demikian, secara logika ekonomi, dividen hanya akan diperoleh mereka yang telah berinvestasi. Pertanyaannya, apakah Indonesia berinvestasi pada kaum muda? Dengan serangkaian problem lingkungan, konflik agraria, kelangkaan lapangan pekerjaan, kekerasan seksual, ketidakmerataan ekonomi, benturan antarpemeluk agama, akankah Indonesia masih berpeluang mendapatkan bonus demografi itu?
Sedang, dari cuplikan fakta kecil saja soal kesehatan, BPS mencatat bahwa kesehatan anak muda Indonesia makin memburuk dalam kurun enam tahun terakhir. Persentase keluhan kesehatan di tahun 2016 yang berjumlah 17,4% menanjak ke angka 21,24% pada 2021. Kemudian dari segi ketenagakerjaan, data Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang World Bank kumpulkan menunjukkan tingkat pengangguran angkatan kerja muda (usia 15-24) di Indonesia menjadi tertinggi kedua di Asia Tenggara.
Besaran angkanya mencapai 16% pada 2021. Tidak heran KedaiKOPI lewat hasil surveinya menemukan bahwa generasi muda pesimistis soal politik hukum Indonesia di masa mendatang, dan penjajakan CSIS menunjukkan isu teratas yang paling anak muda perhatikan menjelang pemilu 2024 adalah kesejahteraan.
Minimnya Jaminan Kualitas Hidup
Berpijak pada serangkum data tersebut, anak muda Indonesia terkepung ketidakmenentuan dan minimnya jaminan kualitas hidup yang memadai. Generasi muda masa kini menjadi kelompok yang terbebani ekspektasi ganda. Karena sokongan teknologi, kemajuan ilmu, dan fasilitas mutakhir. Namun pada saat yang sama, mereka memiliki tantangan berlapis-lapis melebihi generasi sebelumnya.
Mereka hidup dalam situasi yang belum ada preseden sejarahnya. Hoaks, post-truth, kecemasan di media sosial, kecerdasan artifisial yang membantu sekaligus merebut banyak hal, krisis iklim yang memburuk, kekerasan seksual mencuat, nuklir, dan lain sebagainya.
Dari sisi penghidupan, mereka pada akhirnya banyak yang menjadi kelompok sosial yang disebut Guy Standing sebagai “kelas prekariat”. Ringkasnya, kelompok rentan (precarious) sekaligus kelas pekerja (proletariat). Kelompok ini muncul sebagai konsekuensi dari proses perentanan (prekarisasi) yang dilakukan oleh kuasa pemodal dengan pemerintah (struktural).
Lewat perentanan itulah, nasib pekerja akan selalu dibikin kepepet dan pekerjaannya bisa tercabut kapan pun semau majikan. Ini tercermin paling menonjol pada mereka yang tenaga kerja kontrak atau alih daya (out-sourcing). Kemudian buruh paruh waktu (part-timer), dan pekerja lepas (freelancer).
Belum Ada Regulasi yang Pro Kesejahteraan Pekerja
Tidak jarang pula proses pemagangan (internship) menjadi bagiannya. Bahkan biasanya melalui magang lah pintu masuk menuju eksploitasi tenaga kerja murah (bahkan kadang gratis) oleh perusahaan. Hal tersebut akan semakin parah, jika tidak ada regulasi yang pro-kesejahteraan pekerja. Hal ini terpancar dalam UU Ciptaker yang malah memihak investor. Inilah sepotong cara kerja sistem neoliberal yang kawin-mawin dengan penguasa.
Semua itu turut berdampak pada anak muda yang harus menapaki hidup berkalang rintangan. Tentang itu, Steven Threadgold dalam bukunya Youth, Class and Everyday Struggles (2019) memberi kesaksian: “…anak muda didorong dan ditarik oleh tuntutan normatif yang ditujukan kepada mereka sejak usia dini. Sementara mereka secara refleksif memahami bahwa insentif yang tersedia untuk membuat pilihan ‘tepat’ dan bekerja keras–yakni keamanan finansial, keluarga, status sosial, dan kepuasan kerja–adalah prospek yang menurun.”
Dengan kata lain yang lebih singkat: tuntutan terhadap anak muda masa kini berbanding terbalik dengan insentif dan jaminan yang akan mereka terima nanti. Tidak terlepas mereka yang bekerja di media digital, baik redaktur, editor, pengarang, atau wartawan. Elizabeth B. Hurlock saja, mengutip A. Scheinfeld, memasukkan profesi pengarang, editor, wartawan ke dalam kategori profesi yang tak menyenangkan dan angka kematian relatif tinggi.
Derita Buruh Digital Muda
Mengenai topik ini, ada penelitian yang fokus isu tersebut, yakni karya Citra Maudy Mahanani yang terbit menjadi buku “Yang Tidak Banyak Dikatakan Soal Pekerja Media: Kondisi, Posisi, dan Strategi Buruh Digital Muda di Indonesia” (2022). Di dalamnya ia membabarkan konteks ekonomi politik sebagai tawaran cara pandang saat meneliti kondisi pekerja media, konteks kajian generasi dan transisi. Selain itu, memotret beban berat yang musti buruh digital muda alami di perusahaan media tertentu.
Ada beberapa beban berat buruh digital muda yang dapat saya bagikan. Pertama adalah kuasa kapitalisme yang masuk ke ruang-ruang perusahaan media. Dengan adanya penyusupan modal, independensi media tentu akan terbatas. Tentu ini berdampak pada pekerjanya. Kedua, dengan pola sistem neoliberal, ini juga akan menerapkan praktik outsourcing yang memungkinkan pengusaha untuk menghindari resiko dan tanggung jawab terkait pekerja.
Ketiga, praktik eksploitasi lewat adanya fleksibilitas baik dari jam kerja maupun jenis kerjaannya. Buruh digital muda yang mungkin pada malam hari sedang asik menonton, bisa saja ditelpon majikan untuk mengerjakan sesuatu secara mendadak. Bahkan yang pada mulanya bagian editor, mereka disuruh juga untuk mendesain. Itu sudah potret lumrah di negeri ini. Terutama paradigma multitasking atau palugada (“apa aja yang lu mau gua ada”) masih mengakar kuat dalam budaya rekrutmen kerja di Indonesia.
Keempat, berpacu dengan kecepatan dan jumlah pengunjung. Citra Maudy mengistilahkannya dengan “hidup dengan terus berlari dan mengejar”. Banyak reporter dan jurnalis di media yang harus cepat memproduksi konten dalam jumlah banyak dengan target pengunjung yang juga besar. Tekanan pekerjaan ini makin bertambah karena pimpinan bisa langsung memantau secara realtime. Rentetan ini otomatis akan berdampak pada kesehatan fisik dan psikologis pekerja. Maukah bonus demografi yang diangan-angankan itu kempes sebelum kembang?
Hari Buruh Internasional sebagai Pengingat
Sebagai penutup, penting untuk menjadikan Hari Buruh Internasional tahun ini sebagai momen pengingat. Betapa perlunya kita untuk menjaga kesadaran. Selain itu, berserikat juga menjadi salah satu opsi krusial dalam upaya saling dukung, saling jaga dan mengadvokasi hak-hak pekerja, terutama angkatan muda dan di sektor media digital. Mari tetap buka mata, jaga kewarasan. []