Hari raya dalam Bahasa Arab disebut “Id” (العيد). Kita mengenal Idul Adha, saat ini yaitu hari raya kurban, dan Idul Fitri, yaitu hari raya sebelumnya, setelah berpuasa sebulan penuh. Kata Imam Ibn Rajab (w. 795 H), dalam Kitab “Latha’if al-Ma’arif”, id atau hari raya adalah hari kegembiraan dan kesenangan. Kegembiraan yang hakiki, bagi orang-orang beriman, adalah bersama Allah Swt, ketika di dunia ketakwaanya bertambah dan sukses, sehingga di akhirat memperoleh ampunan dan anugerah-Nya (Surat Yunus, 58).
Sedangkan kata Imam Ibn Rajab, seorang ulama sufi yang arif billah berkata: “Seseorang yang riang gembiranya karena selain Allah, maka ia akan mudah lupa kepada-Nya. Orang yang lalai dari Allah, akan bergembira dengan hawa nafsunya, sementara orang yang cerdas akan bergembira dengan Tuhan-nya”. Tidak penting apakah Anda bergembira atau bersedih, selama hal itu membawamu kepada-Nya, maka Anda sedang berhari raya yang sesungguhnya.
Imam Ibn Rajab menambahkan, kita mengenal beberapa pernyataan dalam kalimat-kalimat berbahaa Arab, mengenai hari raya dan ketakwaan ini:
ليس العيد لمن لبس الجديد، إنما العيد لمن طاعاته وتقواه تزيد
Berhari raya itu bukan dengan baju-baju baru lalu bergembira,
Melainkan dengan tambahnya ketaatan, taqwa, dan setia.
ليس العيد لمن تجمل باللباس والركوب، إنما العيد لمن غفرت له الذنوب
Hari raya itu bukan bagi mereka yang memperindah diri dengan baju dan kendaraan,
Melainkan mereka yang mendapat ampunan karena banyak berbuat kebaikan.
Sebagian sufi bermunajat pada malam hari raya:
بحرمة غربتي كم ذا الصدود ألا تعطف علي ألا تجود
سرور العيد قد عم النواحي وحزني في ازدياد لا يبيد
فإن كنت اقترفت خلال سوء فعذري في الهوى ألا أعود
Aku memang terasing darimu, sehingga tertutup semua pintu
Tapi, tidakkah engkau mengasihi diriku dan mau berbagi rindu?
Kegembiraan hari raya telah membahana ke segala penjuru
Tetapi sedihku justru bertambah, dan suaranya masih nyaring menderu
Aku akui telah berdosa padamu pada saat-saat salah dan khilafku
Maafkan nafsuku, berjanji tidak mengulangi, janjiku kan setia padamu.
Sebagian ulama lain juga bersenandung:
للناس عشر وعيد وأنا فقير وحيد
يا غايتي ومنايا قد لذ لي ما تريد
Mereka punya hari-hari raya dengan suka cita
Aku miskin dan sendiri, tidak memiliki itu semua
Duhai tujuan hidup dan matiku
Suka citaku ketika memenuhi semua maumu
Imam al-Syibli (Dulaf bin Jahdar, w. 334 H/946 M) juga menggubah sebuah bait syi’ir serupa:
إذا ما كنت لي عيدا فما أصنع بالعيد
جرى حبك في قلبي كجري الماء في العود
Andai aku berjumpa dengan hari raya
Apakah yang bisa kuperbuat untuknya?
Cukuplah cintamu yang mengalir dalam hatiku
Laksana air yang mengalir dalam batang kayu
Bagi orang-orang yang berman, kata Ibn Rajab, setiap hari adalah hari raya, ketika bisa beribadah, bertakwa, dan sadar dengan kehadiran Allah Swt. Sebagaimana di surga kelak, setiap hari adalah hari raya, karena selalu berjumpa dan bercengkerama dengan Allah Swt. Imam Hasan al-Bashri juga berkata dalam hal ini: “Hari dimana seseorang tidak berdosa adalah hari raya yang sesungguhnya, begitupuan hari dimana seseorang bisa bertakwa adalah hari raya yang sesunggunya”.
Demikian pernyataan-pernyataan ini bisa ditemukan di Kitab “Latha’if al-Ma’arf fima li Mawasi al-‘Am min al-Wazha’if” karya Imam al-Hafiz Zayn al-Din Abi al-Faraj ‘Abdurrahman ibn Ahmad ibn Rajab al-Hanbali al-Dimasyqi (736-795 H). []