Mubadalah.id – Kemarin, tepat 22 Oktober, kita memperingati hari santri nasional yang ke-10. Euforia perayaan ini sudah mulai terasa sejak beberapa hari terakhir. Sejumlah pesantren, institusi, hingga media sosial mulai memeriahkan hari santri dengan cara masing-masing. Puncak perayaan akan tergelar di Tugu Proklamasi Jakarta yang rencananya akan dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
Ini adalah kali pertama, Presiden Prabowo menghadiri apel hari santri setelah 10 tahun terakhir dipimpin oleh presiden sebelumnya, Joko Widodo. Penetapan hari santri berawal dari usulan ratusan santri di Pondok Pesantren Babussalam Malang pada 2014. Kemudian menjadi agenda nasional usai ditetapkannya Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri.
Peringatan hari santri menjadi simbol penghargaan dan refleksi atas perjuangan santri dalam mempertahankan kemerdekan dan membangun masa depan. Tahun ini, Kementerian Agama mengusung tema Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan. Menteri Agama RI periode 2020-2024 Yaqut Cholil Qaumas melalui tema ini mengajak para santri di Indonesia untuk bersama-sama berjuang menuju masa depan Indonesia yang lebih baik.
Kiranya tema ini menjadi refleksi bersama. Di tengah semangat perayaan ini, kita tidak bisa menutup mata atas kekerasan seksual yang sebagian santri alami saat mereka tengah belajar di asrama. Beberapa santri, yang seharusnya menempuh pendidikan dan membangun mimpi-mimpi besar, justru mengalami kekerasan seksual.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat sepanjang tahun 2015 hingga 2020 pesantren menempati urutan kedua dalam hal kasus kekerasan seksual setelah universitas. Kasus yang masuk di data komnas merupakan puncak gunung es. Karena umumnya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan tidak diadukan/dilaporkan.
Baru-baru ini, kasus di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, menjadi sorotan. Puluhan santri laki-laki menjadi korban dugaan kekerasan seksual yang pelakunya merupakan dua pengajar di pondok pesantren. Kasus ini hanya satu dari sekian banyak kekerasan yang terjadi. Kekerasan seksual tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga merenggut harga diri, kepercayaan diri bahkan keyakinan terhadap sistem nilai yang selama ini mereka pegang.
Seperti luka fisik, trauma psikologis akibat kekerasan tak pernah benar-benar hilang meski waktu mungkin mengurangi rasa sakit. Bayang-bayang kejadian itu akan menghantui korban sepanjang hidup.
Potret Kekerasan Seksual dalam Film Siksa Kubur
Film ‘Siksa Kubur’ karya Joko Anwar memotret kekerasan seksual yang santri laki-laki maupun perempuan alami di sebuah pesantren besar serta bagaimana trauma korban berlanjut hingga dewasa. Dalam film ini tak hanya mengkritik perilaku orang-orang yang tampak agamis tapi ternyata menindas. Film ini juga menyorot kehidupan yang korban alami setelahnya.
Fakta kekerasan seksual juga terungkap Project Multatuli dalam liputan panjang. Jurnalis menulis bagaimana puluhan santri mengalami kekerasan sistemik yang Subchi Azal Tsani (Bechi) lakukan di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah.
Putra kiai itu diduga memanipulasi dan membayar anak di bawah umur untuk menjadi budak seksual. Ia memiliki sejumlah ajudan untuk membungkam aksi kekerasan seksual agar korban diam. Bahkan keluarga dan jemaatnya membela Bechi yang jelas-jelas ditetapkan sebagai pelaku. Keluarga korban bahkan mendapatkan intimidasi. Tak cukup di situ bahkan jurnalis yang menulis kasus tersebut turut mereka serang.
Kasus ini menjadi representasi dari banyak korban kekerasan seksual di bawah kedok agama atau institusi yang semestinya menjadi tempat mereka merasa aman, nyaman, dan terlindungi, justru sebaliknya suram. Bisakah kita melihat kekerasan bukan lagi persoalan moralitas individu? Melainkan sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang memerlukan perhatian serius.
Melihat Kembali Peran Pesantren
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida dalam wawancara beberapa hari lalu mengatakan pola pembelajaran dan pola asuh di pesantren sangat berkontribusi besar pada pembentukan karakter santri. Pesantren merupakan agen sosialisasi antisipatoris pendakwah, tetapi juga calon tokoh, dan pemuka agama. Terjadinya kekerasan seolah kontraproduktif dengan pendekatan yang Nabi Muhammad Saw contohkan dalam membangun karakter.
Sebab itu, perlu kita lihat kembali kedudukan dan peran pesantren sebagai institusi pendidikan yang justru berperan sebagai cross cutting affiliation. Dengan demikian keberagaman dan sikap inklusif menjadi bagian dari kehidupan pesantren.
“Yang tak kalah penting, perlu ada kebijakan negara yang ketat dalam mengontrol praktik penyelenggaraan pendidikan dan pengasuhan di pesantren dengan melibatkan stakeholders strategis. Usulan ini tidak mudah pada tataran implementasi sebab aparat negara dan masyarakat yang segan dan enggan pada figur kiai atau tokoh agama,” jelasnya.
Berbagai upaya untuk mencegah kekerasan seksual sebetulnya telah pemerintah upayakan sebelumnya. Namun, sampai detik ini, tampaknya isu ini belum menjadi konsern Prabowo Subianto. Baik saat debat Pilpres 2024 maupun setelah terpilih dan dilantik menjadi presiden RI.
Apakah kasus ini akan menjadi prioritas pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo lima tahun mendatang? Atau justru akan stagnan? Skeptis rasanya namun saya berharap Menteri Agama dan Menteri PPA yang baru dapat menjadikan isu ini sebagai prioritas di masa kerjanya.
Mungkin, menciptakan generasi “Indonesia Emas 2045” bisa kita mulai dengan menuntaskan kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Esok hari, mari kita tunggu, pidato pertama Presiden RI Prabowo Subianto di hadapan para santri. []