Mubadalah.id – Sosok Hayati dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck kerapkali netizen salahkan atas kegagalan cintanya dengan Zainuddin. Saat saya membaca komen-komen cuplikan filmnya di media sosial, saya menjumpai banyak komentar yang mencaci maki sosok Hayati.
Memang benar pada film ini penanggungjawab utama agar mereka bisa bersama adalah keputusan Hayati. Namun nyatanya ada faktor yang lebih besar yang secara langsung memengaruhi keputusan hidup hayati.
Sebelum melanjutkannya, Tulisan singkat saya ini tidak membahas tentang benar ataupun salah fenomena yang terjadi dalam film. Saya hanya menjelaskan apa yang terjadi kepada Hayati menggunakan teori hegemoni budaya yang Antonio Gramsci pernah sampaikan dalam bukunya.
Hayati dalam Film Karya Buya Hamka
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah film Indonesia yang diadaptasi dari novel legendaris karya Buya Hamka dengan judul yang sama. Film ini dirilis pada tahun 2013 dan disutradarai oleh Sunil Soraya.
Cerita film ini fokus pada kisah cinta tragis antara Zainuddin dan Hayati seorang pria miskin dan perempuan kaya nan terhormat. Yang menjadi masalah, meskipun dia sangat mencintai Zainuddin, Hayati terjebak antara cintanya dan kewajiban untuk mengikuti harapan keluarga dan tradisi adat Minangkabau. Hal ini mengharuskan dia menikahi pria dengan status sosial yang lebih tinggi.
Dia sering disalahkan karena dianggap tidak memperjuangkan cintanya, padahal sebenarnya keputusan Hayati lebih karena pengaruh faktor di luar dirinya. Meskipun terlihat seperti dia memilih keluarga dari pada cinta tulus Zainuddin, sebenarnya dia hanya mengikuti apa yang keluarganya perintahkan untuk menjalankan pernikahan kecantikan dan kekayaan.
Hegemoni Budaya
Antonio Gramsci menceritakan dalam bukunya prison notebook. ia menjalaskan bahwa hegemoni budaya itu pada intinya adalah cara-cara kelompok penguasa atau yang lebih kuat dalam masyarakat mengendalikan cara pikir, nilai, dan kepercayaan orang banyak.
Hal tersebut bisa lewat budaya, media, pendidikan, dan hal-hal sehari-hari lainnya. Jadi, meskipun tidak ada yang memaksa secara langsung, mereka membuat orang-orang percaya bahwa norma dan nilai yang ada itu “benar” atau “alami”.
Misalnya, dalam masyarakat ada pandangan bahwa orang kaya lebih pantas mendapat posisi tertentu, atau perempuan harus menjalani peran tertentu. Pandangan-pandangan ini bukan datang dari kekuatan fisik atau politik langsung.
Akan tetapi lebih ke ideologi yang disebar lewat udara, budaya, media, atau bahkan pendidikan. Orang-orang akhirnya menerima itu sebagai sesuatu yang normal atau wajar, padahal itu merupakan sesuatu yang kelompok dominan buat untuk mempertahankan kekuasaannya.
Jadi, dapat kita pahami bahwa hegemoni budaya itu semacam kontrol tidak langsung yang membuat orang mengikuti dan menerima pandangan yang menguntungkan pihak yang lebih kuat, tanpa mereka sadari.
Hayati dalam kungkungan Hegemoni Budaya
Hegemoni budaya yang Hayati alami dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck bisa kita lihat dari bagaimana dia tertekan oleh norma dan tradisi yang ada di keluarganya. Meskipun ia mencintai Zainuddin, dia merasa harus memilih jalan yang keluarganya anggap “benar” . Seperti contoh menikah dengan Aziz, pria yang memiliki status sosial yang lebih tinggi.
Masyarakat di sana menilai kualitas hubungan itu dari status sosial dan bukan berdasarkan perasaan. Hayati juga terikat oleh harapan keluarga yang mengutamakan kehormatan dan tradisi sehingga membuatnya terpaksa mengikuti aturan sosial meski itu berarti mengorbankan cintanya. Jadi, hegemoni budaya ini mengatur keputusan pribadinya, meskipun itu bertentangan dengan keinginannya.
Dari film tersebut juga, Hayati terlihat sama sekali tidak memiliki hak untuk menentukan hidupnya sendiri. Mulai dari saat lahir, sebelum menikah, saat menikah, bahkan ketika sudah Aziz ceraikan. Kalau boleh kita ibaratkan, ia seperti bola yang pemain oper kesana kemari tanpa memiliki hak dan pilihan untuk nasibnya sendiri.
Bahkan sampai menjelang akhir hayat pun, keputusannya untuk naik Kapal Van der widjk hingga tenggelam adalah paksaan dari Zainuddin. Ia melepaskan semua keiginannya demi norma-norma sosial yang telah ia anut. Akhirnya ia tenggelam, bersama keinginan dan harapan yang selama ini ia pendam, mulai dari lahir hingga ajal menjemput.
Alhasil, jikalau kita belum menonton filmnya secara lengkap, akan sulit bagi kita untuk mengidentifikasi peristiwa apa yang sebenarnya terjadi dalam film. Menonton cuplikan yang ada di media sosial tidaklah cukup untuk mengenal dan mendalami tokoh. Sehingga kesimpulan yang lahir akan menjadi prematur. Intinya, menilai seseorang dalam film saja susah dan butuh teori, apalagi menilai orang di dunia nyata yang kita tidak tahu kehidupannya. []