Mubadalah.id – Al-Qur’an selain berisi hukum dan akidah juga menceritakan kisah-kisah hebat dan menakjubkan yang terjadi di masa lampau sebagai pengajaran umat Islam. Salah satu kisah yang terkenal adalah kisah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang mempunyai keimanan kuat serta Allah berikan keistimewaan. Artikel ini akan membahas hikmah-hikmah di balik kisah Ashabul Kahfi.
Kita tahu al-Qur’an mempunyai tiga tujuan pokok. Pertama, menginginkan kita mempercayai akidahnya. Misalnya percaya akan keesaan Tuhan, adanya hari kemudian, adanya pengutusan para Nabi dan lainnya. Kedua, menghendaki agar kita melaksanakan tuntunan- tuntunannya. Ketiga, al-Qur’an menghendaki kita menghiasi kepribadian dengan akhlak.
Untuk mencapai ketiga tujuan ini al-Qur’an menempuh empat cara;
Pertama, dengan cara menguraikan alam raya
Ada sekian banyak ulasan alam raya di dalam al-Qur’an, mulai dari asal kejadiannya hingga kesudahannya. Agar dengan demikian, kita dapat lebih banyak yakin bahwa penciptanya Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, sehingga lebih yakin melaksanakan tuntunan hukum dan moralnya. Allah Swt. berfirman:
وَجَعَلْنَا فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَبِهِمْ ۖ وَجَعَلْنَا فِيْهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَّعَلَّهُمْ يَهْتَدُوْن
Artinya: “Dan Kami telah menjadikan di bumi ini gunung-gunung yang kukuh agar dia (tidak) guncang bersama mereka, dan Kami jadikan (pula) di sana jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Anbiya [21]: 31).
Kedua, al-Qur’an menguraikan tentang manusia
Kita digugah, dengan kata lain perhatikanlah manusia. Misalnya bagaimana asal kejadiannya, kesudahannya, keangkuhannya, ketaatannya, keistimewaannya. Allah Swt. berfirman:
اَلَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ عَيْنَيْنِ. وَلِسَانًا وَّشَفَتَيْن
Artinya: “Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata. Dan lidah dan sepasang bibir?.” (QS. Al-Balad [90]: 8-9).
Al-Qur’an berbicara tentang manusia dan keistimewaanya agar supaya kita sadar dan berkesimpulan seperti sementara kata para pakar “Apakah Anda mengira bahwa Anda ini adalah sosok yang kecil. Tidak. Dalam diri Anda tercakup alam raya”.
Ketiga, al-Qur’an menguraikan sejarah dan kisah
Kita tahu, ada sekian banyak sejarah dan kisah di dalam al-Qur’an. Dan salah satu di antaranya adalah kisah Ashabul Kahfi. Dan keempat, al-Qur’an memberi janji dan ancaman. Ada janji-janji Tuhan, dan siapa yang tahu maka akan mendapatkan ketenangan batin dalam hidupnya serta surga diakhirnya.
Tetapi ada juga ancaman, bahwa yang mengabaikan tuntunan agama, maka hidupnya akan gelisah. Ia kita ibaratkan seperti orang yang naik ke angkasa dan dadanya sesak. Sebab, ajaran agama kita ibaratkan seperti oksigen, kehidupan jasmani.
Artinya, semakin tinggi kita ke atas, maka semakin berpotensi besar untuk kita sesak. Demikian juga yang meninggalkan tuntunan agama yang merupakan oksigen kehidupan rohani itu, semakin kita tinggalkan maka semakin sesak nafas kehidupan kita.
Di dalam Surat Al-Kahf ada lima kisah, walaupun yang populer dari namanya adalah kisah Ashabul Kahfi. Pertama adalah kisah Ashabul Kahfi. Kedua, kisah dua orang pemilik kebun, satu kaya raya tetapi durhakan, dan satu hidupnya sederhana namun ia pandai bersyukur kepada Tuhan. Ketiga, kisah Nabi Adam dan Iblis. Keempat, kisah Nabi Musa dan Khidir. Kelima, kisah Dzulqarnain. Namun, kali ini penulis akan membahas hikmah di balik kisah Ashabul Kahfi.
Hikmah Dibalik Kisah Ashabul Kahfi
Syahdan. Surat Al-Kahf turun karena ada suatu pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrik Makkah, dan pertanyaan itu mereka dapatkan dari orang-orang Yahudi. Utusannya berkunjung ke Madinah dan menanyakan, “Apa yang bisa tanyakan kepada orang yang mengaku Nabi itu sehingga terbukti bahwa dia bohong?”
Maka orang-orang Yahudi itu berkata: “Tanyakan kepadanya tiga hal. Pertama, kisah pemuda-pemuda yang sungguh menakjubkan. Kedua, tanyakan tentang Dzulqarnain, seorang tokoh yang menjelajah dari Barat ke Timur. Ketiga, tanyakan pula tentang ruh.”
Dalam riwayat mengatakan, “Kalau dia menjawab tentang ruh, ketauhilah bahwa ruh itu bohong. Tetapi kalau dia berkata tidak tahu maka dialah Nabi.” Ketika pertanyaan ini diajukan kepada Nabi Saw., beliau berkata: “Besok saya jawab. Saya harus menanti wahyu dari Tuhan.”
Kendati mendapat wahyu, namun Malaikat Jibril tidak kunjung datang. Baru setelah sampai lima belas hari turunlah ayat-ayat yang berbicara tentang Ashabul Kahfi menjawab salah satu pertanyaan mereka.
Menarik. Awal ayat yang berbicara tentang Ashabul Kahfi itu ia katakan:
اَمْ حَسِبْتَ اَنَّ اَصْحٰبَ الْـكَهْفِ وَالرَّقِيْمِ ۙ كَانُوْا مِنْ اٰيٰتِنَا عَجَبًا
Artinya: “Apakah engkau mengira bahwa orang yang mendiami gua, dan (yang mempunyai) Ar-Raqim itu, termasuk tanda-tanda (kebesaran) Kami yang menakjubkan?.” (QS. Al-Kahf [18]: 9).
Ketakjuban Manusia
Kata Quraish Shihab, memang menakjubkan. Tetapi tidak ada artinya daripada peristiwa lain yang justru lebih menakjubkan. Misalnya kejadian alam raya dan manusia sungguh menakjubkan. Akan tetapi persoalan kita manusia, karena terbiasanya dengan sesuatu seringkali mereduksi ketakjuban kita.
Kita tidak takjub lagi melihat api yang membakar, justru kita akan takjub kalau melihat api yang tidak membakar. Anda bisa berkata bahwa ada potensi api yang diberikan oleh Tuhan kepadanya sehingga dapat membakar. Tuhan yang memberi dan bisa mencabut potensi itu.
Takjub melihat manusia yang luar bisa, tetapi kita sudah terbiasa melihatnya. Anda tidak berfikir bagaimana kita berbicara, melihat, dan bagaimana akal kita berfungsi. Kalau kita pikirkan tentang bagaimana tata kelola cara kerjanya maka ini sungguh sangat menakjubkan, tetapi kita tidak terpikirkan akan hal itu dan sudah terbiasa.
Padahal, kata Quraish Shihab, di balik kemampuan berbicara dan mengingat ada proses yang sangat unik dan menakjubkan. Lihatlah tangan Anda bagaimana ia bisa meraba yang halus, bagaimana bisa menggenggam yang keras.
Jadi kebiasaan mereduksi ketakjuban. Inilah yang Tuhan garis bawahi agar supaya kita jangan berkata: “Oh ini tidak mungkin.” Padahal ada yang lebih hebat dari itu, namun karena sehari-hari melihatnya kita berkata: “Oh itu mungkin.”
Kisah Ashabul Kahfi
Setelah itu baru kita katakan renungkanlah ketika pemuda-pemuda itu menuju suatu goa yang besar. Al-Kahf, memang mulut pintu masuk gua kecil, namun boleh jadi di dalamnya besar. Ketika mereka menuju ke goa mereka berdoa. Dinyatakan dalam al-Qur’an Surat Al-Kahf ayat 10:
اِذْ اَوَى الْفِتْيَةُ اِلَى الْـكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَاۤ اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَّهَيِّئْ لَـنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا
Artinya: “(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, “Ya Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (QS. Al-Kahf [18]: 10).
Suatu pelajaran bahwa, sebelum Anda melangkah berdoalah: “Ya Allah anugerahi kamu rahmat”. Hubungkan diri Anda sebelum melangkan dengan Allah Swt. Dan mohonlah agar Tuhan mencipatakan (mengadakan) sebab-sebab yang dapat menyukseskan Anda di dalam apa yang Anda harapkan “Hayyi’ lana min amrina rasyada”.
Siapkan. Apabila Allah Swt. menghendaki terwujudnya sesuatu disiapkannya sebab-sebab. Ada sesuatu yang Anda kehendaki dari sini, maka disiapkanlah sebab-sebab itu. Lalu lanjutan ayat Al-Kahf ayat 11. Allah Swt. berfirman:
فَضَرَبْنَا عَلٰۤى اٰذَانِهِمْ فِى الْـكَهْفِ سِنِيْنَ عَدَدًا
Artinya: “Maka Kami tutup telinga mereka di dalam gua itu selama beberapa tahun.” (QS. Al-Kahf [18]: 11).
Jelasnya, langkah pertama setelah mereka masuk ke dalam goa itu Allah menidurkannya bertahun-tahun lamanya. Di sinilah mulai kisah Ashabul Kahfi. Bahwa ada pemuda yang Allah tidurkan bertahun-tahun lamanya sehingga pada akhirnya mereka terbangun dan menemukan situasi, atau satu keadaan yang berbeda dengan keadaan mereka.
Pendapat para pakar
Dikatakan, sebelum ke gua mereka berusaha menyakinkan masyarakatnya. Mereka mengajak kepadanya, namun setelah sadar bahwa ajakan mereka tentang ketuhanan Yang Maha Esa tidak diterima oleh masyarakatnya, maka ketika itu juga mereka berkata: “Mari kita menyelamatkan ajaran agama dan akidah kita, serta pindah ke suatu tempat yang tidak dapat disentuh oleh keburukan, tidak juga dapat tersiksa dari penguasa yang kejam.”
Para pakar berbicara dan bertanya-tanya di mana kejadian ini? Sebab al-Qur’an tidak menyebutkan tempat. Bermacam-macam pakar menyebutkan dan tidak kurang dari 40 tempat disebutkan. Namun yang populer hanya ada lima, dan dua diantaranya sangat populer.
Ada yang berkata di Turki, sekitar 70 KM dari kota Izmir. Ada berkata di Damaskus, Palestina, Skandinavia (konon di sana ditemukan 7 mayat yang masih utuh dengan ciri-ciri pakaian orang-orang Romawi). Dan relatif terbaru tahun 1963 ditemukan suatu gua yang hampir dapat dikatakan sesuai dengan ciri-ciri yang al-Qur’an jelaskan.
Gua itu berada di Amman, sekitar 8 KM dari pusat kota Amman Yordania. Di sana ada gua yang apabila matahari terbit maka masuk melalui pintu gua yang di sebelah kanan, dan ketika terbenam matahari menyentuh mereka dari mulut gua dibelakangnya. Inilah yang terlihat dan ada bekas-bekas masjid, tulisan-tulisan dan lainnya.
Hikmah di Balik Kisah
Namun demikian, kata Quraish Shihab, dari sisi tuntunan al-Qur’an memang tidak menjelaskan di mana tempatnya. Al-Qur’an juga tidak menceritakan kapan terjadinya, yang konon mereka tertidur itu sekitar tahun 112 Masehi. Mengapa al-Qur’an tidak menjelaskannya?
Jawabannya, karena al-Qur’an ingin mengajak kita untuk memperhatikan substansi, bukan orang dan tempat. Karena itu, ulama besar Mesir Syekh Sya’rawi berkata, kalau al-Qur’an berbicara tentang suatu kisah dan peristiwa yang menyebut nama dan tempat maka itu tidak akan terulang lagi.
Itu sebabnya, nama Sayyidah Maryam disebut karena tidak akan terulang lagi peristiwa semacam itu. Tetapi Fir’aun dan Qarun disebutkannya karena itu bukan nama melainkan gelar. Jadi tidak disebutkan tempatnya agar supaya kita tidak melihat sosok dan tempat. Bahwa hal itu bisa terjadi kapan dan di mana saja tanpa melihat tempat ini dan itu. Inilah cara al-Qur’an.
Karena itu pula, banyak ulama yang menasehati untuk tidak usah terpaku bertanya kapan terjadinya, di mana tempatnya. Melainkan, carikah hikmah di dalamnya agar bisa ditarik dalam kehidupan untuk mengukuhkan akidah, serta menjadikan Anda lebih giat melaksanakan tuntunan-tuntunan agama dan lebih giat menghiasi diri dengan akhlak. Wallahu a’lam bisshawab. []