Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, dalam sebuah kuliah umum di kampus terkemuka di Indonesia, seorang tokoh publik melontarkan candaan yang menyamakan perempuan dengan mangga berade—buah musiman yang katanya makin siang makin murah. Kalimat itu bersambut gelak tawa audiens. Sebagian tertawa karena merasa lucu, sebagian lain mungkin tertawa karena terpaksa, dan sisanya memilih diam.
Tawa di forum publik sering kali dianggap remeh. Tapi jika tawa itu berdiri di atas perbandingan antara tubuh perempuan dan komoditas pasar, maka kita perlu bertanya: tawa itu sedang menertawakan siapa? Dan lebih jauh, tawa itu sedang membela nilai apa?
Dalam tradisi Islam yang rahmatan lil ‘alamin, perempuan tidak pernah terposisikan sebagai objek yang nilainya naik-turun mengikuti selera atau waktu. Al-Qur’an menempatkan perempuan sebagai makhluk yang setara dalam kemuliaan penciptaan, potensi keilmuan, maupun tanggung jawab sosial. Nabi Muhammad SAW pun memberikan teladan bagaimana menjunjung tinggi martabat perempuan, bahkan dalam konteks candaan.
Humor, jika terolah dengan adab, bisa menjadi jembatan kebijaksanaan. Tapi jika kita biarkan menjadi medium merendahkan kelompok tertentu—dalam hal ini perempuan—maka ia bukan lagi candaan, melainkan kekerasan simbolik. Dan yang menyedihkan, bentuk kekerasan semacam ini kerap lolos dari koreksi karena terbungkus dalam kemasan “hanya bercanda.”
Seksisme
Kita hidup di masyarakat yang terlalu lama memaklumi seksisme. Sejak kecil kita diajari untuk diam ketika mendengar candaan tentang tubuh perempuan. Kita menyebutnya humor, padahal sering kali yang terjadi adalah normalisasi atas pelanggaran martabat. Dalam banyak ruang, termasuk ruang akademik, ruang dakwah, bahkan ruang keluarga, perempuan kerap menjadi bahan guyonan yang mempertegas posisi subordinatnya.
Sebagai aktivis gender dan pelaku advokasi ruang aman, saya percaya bahwa perubahan sosial kita mulai dari hal yang tampak sederhana. Kita tidak akan pernah mampu membangun masyarakat yang adil jika kita masih membiarkan candaan tentang harga tubuh perempuan berseliweran tanpa koreksi. Karena bagaimana mungkin kita bicara kesetaraan jika humor kita masih menertawakan yang seharusnya kita muliakan?
Sebagian orang mungkin akan mengatakan, “Itu hanya analogi, jangan terlalu serius.” Tapi justru karena analogi adalah jembatan pemahaman, maka ia harus kita gunakan secara bijak. Analogi yang baik akan menguatkan nilai-nilai luhur. Sebaliknya, analogi yang sembrono akan menormalisasi ketimpangan yang merusak kesadaran kolektif kita sebagai umat yang beriman.
Dalam perspektif mubadalah, relasi antara laki-laki dan perempuan terbangun atas dasar keadilan, penghormatan, dan timbal balik. Maka dalam setiap ruang—baik publik maupun privat—sudah seharusnya kita saling menjaga kehormatan satu sama lain. Menertawakan perempuan dengan cara merendahkan tubuhnya bukan hanya pelanggaran nilai etika, tapi juga bertentangan dengan semangat mubadalah itu sendiri.
Saya membayangkan, bagaimana dampaknya jika seorang santri, seorang mahasiswi, atau seorang anak perempuan mendengar candaan seperti itu dari orang yang mereka hormati. Apakah mereka akan merasa aman menjadi perempuan? Apakah mereka akan belajar bahwa tubuh mereka adalah kehormatan, atau justru harga yang bisa dikira-kira seperti buah di pasar?
Masyarakat Madani
Jika kita ingin membangun masyarakat yang madani, maka kita harus mulai dari hal kecil seperti ini. Membangun kebiasaan untuk tidak menertawakan apa yang menyakitkan. Menguatkan keberanian untuk berkata, “Itu tidak lucu,” tanpa merasa bersalah. Dan menciptakan ruang-ruang publik yang bukan hanya bebas dari kekerasan fisik, tapi juga kekerasan simbolik yang membekas di hati banyak orang.
Menertibkan humor bukan berarti mengebiri kebebasan berekspresi. Tapi itu berarti kita bersedia bertanggung jawab atas apa yang kita ucapkan. Karena dalam Islam, setiap kata adalah amanah. Dan setiap tawa pun, kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Humor bukan musuh kita. Tapi humor yang memperkuat dominasi, menghina yang lemah, dan mempermalukan yang seharusnya dimuliakan—itulah yang harus kita kikis bersama. Kita punya pilihan untuk melucu dengan cerdas, tanpa melukai.
Maka hari ini, saya memilih tidak ikut tertawa. Bukan karena saya kehilangan selera humor atau menjadi terlalu serius. Tapi karena saya masih percaya, bahwa perempuan berhak dimuliakan, bahkan dalam candaan sekalipun. Sebab dari cara kita bercanda, sesungguhnya terlihat seberapa besar kita menjaga martabat manusia yang lain. []