Mubadalah.id – Ibnu Rusyd adalah filsuf besar, komentator karya-karya Peristoretes ahli fiqh Mazhab Maliki dan hakim agung Kordoba, ahli kedokteran terkemuka pada masanya, dan teolog bermazhab Sunni Asy’ari. Namanya sangat populer dan dihormati di Barat pada Abad Pertengahan. Mereka memanggilnya Averroes. Pikiran-pikirannya mengilhami kelahiran peradaban modern di Eropa (Renaisans).
Ibnu Rusyd sejak kecil belajar ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler melalui cara bandongan dan sorogan seperti para santri di pesantren. Ia adalah seorang “kutu buku” dan penulis produktif.
Konon, ia tidak pernah melewatkan hari-harinya tanpa membaca atau menulis, kecuali dua hari saja: ketika menikah dan saat kematian ayahnya. Ia lahir di Kordoba, Spanyol, 1126 M, dan wafat 1198 M.
Kemudian, pikiran-pikiran Ibnu Rusyd yang sangat cerdas dan rasional banyak menimbulkan kontroversi hebat pada masanya. Selain pandangan filsafatnya, pendapatnya tentang perempuan juga tidak umum.
Menurutnya, perempuan tidak berbeda dan laki-laki. Keduanya memiliki kualitas potensi (ath-thab) yang sama. Yang berbeda hanyalah pada aspek kuantitasnya (al-kamm). Perempuan, katanya, lebih lemah dalam bekerja.
Ia juga mengatakan, “sebagian perempuan memiliki kelebihan dan kecerdasan atas laki-laki. Mereka ada yang menjadi filsuf dan penguasa. Namun, karena masyarakat pada umumnya telah memiliki keyakinan bahwa hal itu jarang terjadi pada perempuan. Maka aturan (hukum agama/fiqh) tidak dapat menerima perempuan menduduki jabatan imamah (pemimpin tertinggi).”
Dengan demikian, sangat jelas bahwa perbedaan kuantitatif perempuan dan laki-laki (seperti disebut oleh Ibnu Rusyd) tentu saja bersifat social constructed (diciptakan secara sosial). Perempuan tidak diberi ruang yang bebas seperti laki-laki.
Kemudian, Ibnu Rusyd sangat percaya pada proses perubahan kehidupan. Pandangan Ibnu Rusyd tersebut jelas mendahului pikiran aktivis perempuan hari ini. []