Mubadalah.id – Pilihan perempuan ketika menjadi ibu rumah tangga hingga kini masih mendapatkan stigma negatif oleh masyarakat. Padahal menjadi ibu rumah tangga yang stay at home di rumah dalam 24 jam bukanlah perkara yang mudah.
Realitas yang terjadi di sekitar kita juga menunjukkan, meskipun di e-KTP tertulis “mengurus rumah tangga” sebagai pekerjaan, pada kenyataannya hal itu tidak masyarakat akui. IRT selalu kita asosiasikan sebagai sosok yang malas dan kurang produktif dalam hal ekonomi. Pekerjaan IRT pun masih kita anggap sepele, ringan, bahkan tak peduli berapa banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan dalam sehari.
Sementara itu, di sekitar kita juga masih banyak masyarakat yang memiliki pandangan jika seorang ibu yang memilih bekerja di luar rumah kita anggap sebagai ibu yang tega dan egois. Padahal sepulang dari tempat kerjaa, terkadang seorang ibu masih terbebani dengan setumpuk tugas domestik, dan mengurus anggota keluarga lain.
Lalu, jika ada seorang ibu yang dalam perjalanannya memilih resign dari pekerjaannya dahulu, dan memilih menjadi IRT dianggap tidak keren. Bahkan perempuan yang berpendidikan tinggi dan memilih sebagai IRT setelah menikah, juga dianggap menyia-nyiakan ijazah.
Pandangan yang demikian sangatlah kita sayangkan. Karena ternyata masih banyak pihak yang memarjinalkan perempuan. Padahal manusia memiliki derajat yang sama di mata Tuhan, yang membedakan adalah ketakwaannya. Bahkan perempuan, telah terangkat derajatnya hingga setara dengan laki laki sejak Nabi Muhammad diutus ke muka bumi.
Labelling terhadap Ibu Rumah Tangga
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu seorang ibu bernama Riyana (nama samaran) bercerita tentang diri dia yang sering mendapatkan labelling, bahwa sepertinya enak sekali hidupnya. Karena hanya santai di rumah dan tinggal menunggu terima gaji dari suaminya. Hal itu membuatnya sedih, marah dan merasa tidak terima dengan pernyataan tersebut. Dahulu Riyana adalah seorang ibu yang bekerja di sebuah perusahaan. Namun karena ingin fokus mengurus keluarga akhirnya memutuskan untuk resign dan memilih menjadi Ibu Rumah Tangga.
Kesibukannya menjadi IRT tanpa ART dengan tiga orang anak sungguh tidak mudah. Setiap hari dia berkutat dengan pekerjaan domestik yang tidak ada habisnya (memasak, menyuci, membereskan rumah, merawat tanaman dan lainnya).
Malam harinya pun ia masih harus begadang sendirian untuk menggantikan popok, menyusui dan menidurkan anaknya. Belum lagi jika ASI sudah penuh dan bayi masih belum mau menyusu. Dia harus merasakan payudaranya bengkak hingga harus memompanya agar tidak terkena mastitis. Sungguh hari-hari yang luar biasa harus dia lalui dari pagi hingga petang. Kondisi yang Riyana lalui ini, bisa jadi juga dirasakan oleh ibu-ibu lainnya.
Setiap bulan, ibu juga harus mengelola keuangan rumah tangga agar teralokasikan sesuai kebutuhannya. Memastikan setiap anggota keluarganya memiliki asupan makanan yang sehat. Merancang dan melakukan stimulasi apa saja yang tepat sesuai usia anak, agar tumbuh kembangnya optimal. Seorang ibu harus bekerja seharian dengan pikiran, tenaga dan strategi agar pekerjaannya terselesaikan dengan baik. Juga dengan seluruh perasaannya agar anak-anaknya mendapatkan perhatian yang utuh.
Lalu dengan sederet tugas-tugas domestik yang tak ada habisnya itu, apakah betul mengurus rumah tangga bukanlah sebuah pekerjaan? Apakah karena output dari kerja-kerja IRT tidak menghasilkan uang (unpaid work), sehingga dianggap bukan kerja dan pengangguran?
Pengertian Bekerja
Menurut KBBI, arti kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu; yang kita lakukan (diperbuat). Selanjutnya dalam pengertian yang lebih luas, pekerjaan sering kita kaitkan dengan menghasilkan sesuatu yang umumnya uang. Lalu apa saja yang dihasilkan dari pekerjaan domestik yang ibu rumah tangga lakukan?
Pekerjaan domestik ternyata menghasilkan banyak produk seperti makanan, pakaian yang bersih dan rapi, rumah yang bersih dan tertata, anak yang terawat, cash flow yang sehat dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa seseorang yang mengerjakan pekerjaan rumah, merawat anak dan pekerjaan domestik lainnya sesunguhnya bekerja. Dia bukan seorang pengangguran.
Ya, memang terlihat seperti tidak menghasilkan uang. Tapi jika pekerjaan tersebut pekerja rumah tangga yang melakukannya, maka aktivitas tersebut akan menghasilkan uang Itu. Artinya, jika kita rinci satu persatu jenis pekerjaan domestik tersebut dan kita nominalkan, uang yang akan kita keluarkan untuk membayar aktivitas tersebut tidaklah sedikit.
Perbedaaannya, IRT mengurus dan mengelola miliknya sendiri, sehingga bukan uang yang ia hasilkan. Akan tetapi karya-karya dalam bentuk yang berbeda. Secara tidak langsung IRT juga turut berkontribusi dalam menjaga ketahanan ekonomi keluarga. Ibu rumah tangga juga turut bekerja berdasarkan nilai-nilai kehidupan, prinsip dan pilihan yang telah pihak keluarga sepakati.
Bahkan faktanya, IRT yang kerap mendapatkan stigma “sumur, dapur, kasur” nyatanya di era saat ini sudah banyak yang tetap bisa berkarya dari rumah (seperti menjadi content creator, conten writer, MC event online, Voice Over, dll). Di tengah kesibukannya mengurus rumah tangga. Jadi IRT bukanlah pengangguran.
Mengubah Stigma Ibu Rumah Tangga
Sudah saatnya masyarakat mengubah stigma tentang IRT. Saling mengapresiasi tiap kerja-kerja manusia. Yakni saling mendukung peran satu sama lain adalah hal yang lebih baik daripada menganggap IRT sebagai pengangguran. Ibu rumah tangga bukanlah robot yang mampu mengelola berbagai macam pekerjaan tanpa lelah. Ia adalah manusia yang juga bisa merasakan kelelahan baik fisik maupun mental. Oleh karena itu keterlibatan suami dalam hal pembagian kerja domestik sangatlah penting.
Hargailah setiap peran ibu dalam rumah tangga dengan manusiawi. Jangan abai terhadap segala macam keluhan dari IRT karena tugas domestik rentan terhadap masalah mental dan juga cedera fisik. Apresiasi setiap pekerjaannya, supaya rasa bermakna dan kepercayaan diri IRT meningkat. Sehingga tidak ada lagi ibu-ibu yang insecure ketika menyebutkan dirinya sebagai IRT dengan kata cuma atau sekadar IRT atau tidak bekerja.
Jangan sampai seorang ibu memikul beban berlipat ganda sendirian karena pekerjaan domestik siapapun dapat melakukannya. Pekerjaan ini begitu penting untuk keberlangsungan dan keharmonisan setiap keluarga. Keterbukaan akan kondisi mental seorang ibu juga sangat penting demi menjaga kewarasan dan kebahagiaan jiwa ibu baik yang bekerja di ranah domestik, maupun di ranah publik.
Sudah saatnya kita merubah dua dikotomi tentang IRT dan Ibu berkarir. Yakni menjadi ibu bekerja di ranah domestik dan ibu bekerja di ranah publik. Karena keduanya sama-sama bekerja di ranahnya masing-masing. Keduanya sama-sama berhak memiliki waktu untuk me-time, healing dan jeda sejenak dari rutinitasnya demi mengumpulkan energi yang baru.
Keduanya juga sama-sama memiliki kesempatan untuk mengekspresikan diri dan terlibat aktif di masyarakat. Mengupgrade skill sesuai minatnya. Sama-sama berkarya demi kemaslahatan dengan versi terbaiknya masing-masing. Karena setiap dari kita adalah berharga, memiliki kedaulatan penuh atas diri dan berhak bahagia atas pilihannya. []