Beberapa hari setelah aku berdebat dengan Abah, Umi menyampaikan kabar yang sama sekali tidak dapat kusebut sebagai kabar baik. “Nak, lusa keluarga wa Sadikin akan datang ke rumah kita.” Kata Umi lembut. Aku tidak mau berbicara apapun. Umi mendekatiku, meraih pundakku, kemudian memelukku erat. “Nisa yang sabar yah. Insya Allah ini yang terbaik buat Nisa.” Aku menangis di pelukan Umi. Hatiku menyangkal. Bukan, ini bukan untuk kebaikanku, ini hanya untuk kepentingan Abah.
Hari itupun tiba. Hari dimana keluarga wa Sadikin datang ke rumahku. Malamnya aku berpikir keras agar dapat melakukan sesuatu yang sekiranya dapat membuat keluarga wa Sadikit tidak jadi datang. Mudah-mudahan saja besok hujan deras seharian supaya keluarga wa Sadikin tidak jadi datang.
Tapi ini kan musim panas, lagi pula hujan terlalu sederhana jika untuk menghalangi keluarga wa Sadikin yang akan datang menggunakan mobil. Atau aku saja yang pergi dari rumah, kabur lewat jendela kamar seperti yang terjadi di film-film. Tapi itu terlalu kekanak-kanakan. Aku tidak mungkin melakukan hal sebodoh itu.
Ada kebiasaan aneh yang dilakukan oleh masyarakat di sektarku. Akad nikah dapat dilakukan dua kali. Pertama akad yang hanya sah secara agama, hanya dihadiri oleh mempelai laki-laki dan perempuan, seorang wali dan dua orang saksi. Tidak ada petugas KUA atau sanak famili. Yang hadir hanya keluarga inti. Sebagian orang menganggap momen ini sebagai tunangan.
Namun menurutku lebih pantas disebut sebagai pernikahan terselubung. Meskipun sudah sah di mata agama, kedua mempelai belum boleh tinggal satu rumah. Pernikahan terselubung ini bertujuan agar jika kedua mempelai pergi berduaan kemana-mana, melakukan foto prewedding atau mempersiapkan segala kebutuhan resepsi bersama, tidak menjadi fitnah karena sebetulnya mereka sudah sah menjadi suami istri.
Itulah yang terjadi kepadaku hari ini, pertunangan yang ternyata adalah pernikahan terselubung. Aku ingin sekali memberontak. Protes kepada seluruh anggota keluargaku. Tadi malam kakakku bilang bahwa besok aku dan Haidar hanya akan bertunangan, artinya aku memiliki kesempatan untuk membatalkannya. Namun yang hari ini terjadi ternyata lebih dari sekedar itu. Haidar benar-benar menjabat tangan abahkau dan melakukan ijab qabul di hadapan pamanku dan pak Udin, tetangga samping rumahku yang menjadi saksi akad nikah.
Saat itu aku ingin sekali pergi, namun tidak bisa. Apalagi jika melihat wajah teduh abah yang semakin menua, tidak sampai hati jika aku tiba-tiba kabur dan mempermalukannya di hadapan semua orang. Itulah saat pertama aku melihat Haidar. Semua anggota keluargaku memujinya. Kakakku tidak henti-hentinya menghiburku. “Lihat Nis, dia ganteng kan. Tinggi lagi. Baru melihatnya saja sudah nampak sekali kalau dia itu pemuda yang sangat baik.”
Aku tidak peduli dengan apa yang dikatakan kakak. Semua ketampanan itu, semua kemuliaan itu, semua kebaikan itu tertutupi oleh lukaku yang sedang mengucurkan darah segar hingga aku tak dapat merasakan apa-apa lagi selain rasa sakit. Aku hancur.
Namun tangisku telah habis sedangkan aku lupa bagaimana caranya tersenyum. Aku membayangkan jika semua teman-temanku di organisasi akan menghinaku yang selalu keras menyuarakan kemerdekaan dari segala ketertindasan namun tidak dapat memerdekaan diri dari tindasan yang saat ini terjadi padaku.
Aku hanya bisa diam, memendam semua amarah, memendam semua rasa kecewa terhadap semua orang. Aku tak habis pikir Abah benar-benar akan menikahkanku tanpa mendengarkan pendapatku sama sekali. Hingga seluruh rangkaian acara selesai aku tidak banyak bicara, hanya menjawab sekedarnya saja jika ada yang bertanya. Sebuah cincin kini telah melingkar di jari manisku. Untungnya yang memakaikan adalah ibunda Haidar, bukan Haidar langsung. Aku tak dapat membayangkan bagaimana keadaanku jika Haidar langsung yang memasangkan cincin itu.
Hanya berselang dua bulan dari pernikahan terselubung itu, pernikahan resmiku digelar. Ijab qabul kembali dilaksanakan, kali ini dihadiri oleh petugas KUA dan sanak famili dari jauh pun turut hadir. Aku sengaja tidak mengundang satupun teman kampusku, apalagi teman organisasiku. Aku belum siap menjelaskan kepada mereka mengapa semua ini bisa terjadi meskipun mungkin mereka akan paham, menerima dan turut gembira hingga nyatanya hanya aku seorang yang belum bisa menerima semua ini.
Dalam waktu dua bulan itu tidak ada prewedding, tidak ada fitting gaun pengantin, tidak ada pilih-pilih catering. Semua persiapan resepsi pernikahan aku serahkan kepada kakak-kakakku. Aku masih sulit menerima takdirku, aku masih berharap suatu keajaiban terjadi sehingga aku dapat berlari dari kenyataan yang sedang aku hadapi. Namun takdir berkata lain. Umurku sampai pada hari itu, hari pernikahan resmiku, hari dimana aku berada pada puncak kehancuranku.
Seluruh rangkaian acara berjalan lancar seperti semestinya. Aku memang dapat tersenyum saat setiap orang menyalamiku. Aku dapat terlihat sumringah duduk berdampingan dengan Haidar. Aku dapat pura-pura berpose mesra saat fotografer mengrahkan kami untuk difoto. Namun tidak ada sepatah katapun yang aku katakan kepada Haidar. Seharian itu kami hanya saling diam.
Malam hari setelah resepsi, Haidar tidak mendapatkan malam pertama yang diimpikan banyak orang yang baru menikah. Jangankan untuk memberinya malam pertama, menyapanya saja aku enggan. Malam itu aku malah sibuk dengan tugas kuliah yang harus segera aku serahkan pada dosen, membiarkan Haidar yang tertidur setelah sekitar satu jam membaca Al-Qur’an.
Berhari-hari, berminggu-minggu hingga berbulan-bulan aku dan Haidar tinggal satu rumah bahkan satu kamar. Namun selama itu kami sibuk dengan urusan masing-masing. Haidar sama sekali belum pernah menyentuhku. Nampaknya dia mengerti bahwa aku belum bisa menerima kehadirannya.
Selama itu pula dia begitu menghormatiku, memberikan ruang yang luas untuk privasiku, tidak mencampuri urusan-urusanku, bahkan tidak berani bertanya jika aku hendak pergi kemanapun. Seperti saat ini, saat aku akan meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama karena harus melakukan penelitian lapangan untuk tugas akhirku, dia tidak bertanya apapun.
Satu sisi dalam diriku memang sangat menentang segala sesuatu yang dapat menghalangi kemerdekaanku, termasuk pernikahan yang tidak pernah kuinginkan ini. Namun sisi lain diriku juga mendambakan sebuah rumah tangga yang sakinah jika kemudian hari aku menikah. Itulah alasan paling utama yang membuatku bertahan hingga saat ini meski pun aku belum mencintai Haidar.
Aku masih merasa bahwa ia adalah orang asing yang setiap hari menginap di kamarku. Namun ketika sepenuhnya aku sadar bahwa kini ia adalah suamiku, selalu ada keinginan untuk bekerja sama dengannya dalam membangun rumah tangga yang sakinah meski entah kapan aku akan memulainya.
“Maaf jika kehadiranku membuat hidupmu tidak nyaman, Nis.” Ucapnya saat aku hendak keluar kamar meninggalkannya untuk waktu yang cukup lama.
Ah, iyah, hidupku memang menjadi tidak nyaman sejak ada dia. Aku jadi harus berbagi ruang dengannya meski kamarku bahkan cukup untuk tempat tidur lima orang sekalipun. Segalanya menjadi sempit. Dia memang sama sekali tidak mencampuri urusnku dan sangat menghormati privasiku.
Namun semua sikapnya itu membuatku juga harus menghormati dunianya yang tiba-tiba dia bawa ke kamarku. Deretan kitab kuning tebal kini bersanding dengan deretan buku bacaanku. Sebuah bingkai foto besar berisi foto pernikahan kami kini menghiasi salah satu dinding kamarku.
Lemari bajuku yang biasanya lengang kini penuh karena juga berisi pakaian-pakaiannya. Dia memang tidak pernah memintaku untuk melakukan sesuatu, namun dia tidak pernah meninggalkan kamar dalam keadaan berantakan. Dia selalu merapikan barang-barangnya setelah menyelesaikan setiap urusannya.
“Iya, terima kasih karena kamu sudah mengerti.” Hanya itu jawaban yang aku sampaikan kepadanya. Setelah itu aku pergi meninggalkannya yang terus menatapku hingga aku menutup rapat pintu kamarku itu. []