• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Impian Keterlibatan Perempuan dalam Menentukan Kebijakan di Tingkat Desa Masih Panjang

Perjalanan panjang untuk mewujudkan kesetaraan, dan peran aktif perempuan dalam menentukan kebijakan masih sangatlah panjang. Faktanya dalam salah satu forum musyawarah tingkat desa saja hampir tidak ada satu pun peserta perempuan yang diundang, dan program yang diusulkan sangat minim yang berperspektif perempuan.

Nuril Qomariyah Nuril Qomariyah
28/01/2022
in Publik
0
Social Justice Day, Vagabond

Social Justice Day

128
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Selasa (25/01/2022) kemarin saya berkesempatan menghadiri forum MusrenbangDes, mewakili bapak yang memperoleh undangan dan kebetulan berhalangan hadir. Hal yang sangat mengejutkan adalah diantara 30 orang undangan yang hadir saya adalah satu-satunya peserta perempuan, yang artinya jika bapak saya hadir maka tidak ada peserta perempuan sama sekali. Lebih mirisnya lagi dari usulan yang diajukan sangat minim yang memiliki perspektif pengarusutamaan gender.

Istilah pengarusutamaan gender (PUG) pertama kali diresmikan oleh Gus Dur melalui Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutmaan Gender dalam Pembangunan Nasional, sebagai upaya peningkatan keterlibatan perempuan di ranah publik. Istilah PUG sendiri diambil sebagai strategi untuk memperkenalkan kesetaraan gender dalam acara Fourth World Conference of Women di tahun 1995.

Namun, mungkin bagi warga desa saya istilah ini baru terdengar pada saat pembukaan forum MusrenbangDes kemarin. Sebab Kasi dari kecamatan menyampaikan dua hal baru yang menjadi fokus program di tahun 2023 nantinya, yakni harus terintegrasi dengan pengarusutamaan gender dan peka terhadap penyandang disabilitas.

Apakah hal ini terlambat? Tentu iya, setelah lebih dari 20 tahun baru sampai di telinga warga desa yang tentunya sangat asing dengan istilah PUG. Namun, bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Dampak konkrit dari keterlambatan ini yang menyebabkan jarang sekali kita temui perempuan yang memiliki peran untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan di tingkat desa, jika ada pasti sudah bisa dihitung jari dan jumlahnya berbanding terbalik dengan jumlah keterlibatan laki-laki. Contohnya sangat terlihat dari kuota undangan peserta MusrenbangDes di desa saya yang keseluruhan laki-laki.

Menjadi satu-satunya peserta perempuan, dan pertama kali dalam forum musyawarah desa, membuat saya insecure dan takut. Untungnya waktu itu pendamping yang dari kecamatan ada petugas perempuan yang memberikan saya motivasi untuk memberikan usulan melalui forum.

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Namun lagi-lagi, sebab saya perempuan petugas yang memberikan microfon pada peserta untuk menyampaikan usulannya dengan sengaja melawati saya dan memberikan kepada peserta lain yang tentunya ini disebabkan karena saya perempuan dengan usia paling muda diantara peserta lainnya yang notabene adalah bapak-bapak.

Untungnya di akhir forum setiap orang yang memiliki usulan diminta untuk menuliskan program yang mereka tuliskan di atas kertas untuk dikumpulkan kepada petugas yang mencatat. Kesempatan ini yang kemudian saya pakai untuk menuliskan beberapa usulan yang menurut saya penting untuk pemberdayaan perempuan dan anak. Sebab dari beberapa usulan yang sudah diajukan secara langsung sedari awal hanya mengarah pada infrasturktur desa dan juga pengadaan alat-alat pertanian.

Jangankan pemenuhan 30% untuk kursi di Legislatif, pemenuhan kuota undangan tingkat desa tiap tahunnya saja terlihat sangat sulit. Sebenarnya jika diamati bukan sulit yang saya lihat, akan tetapi memang undangan yang dibagikan hanya ditujukan bagi tokoh masyarakat yang laki-laki saja.

Sebab, perempuan masih dianggap kurang mampu dari segi kapasitas pemikiran dan kredibilitasnya dalam menyusun kebijakan di tingkat desa apalagi jika ditambah kepala desa yang memimpin adalah laki-laki. Dan juga stigma terhadap perempuan yang dianggap perannya sebatas di dapur, sumur, kasur masih sangat melekat di sini.

Melihat kondisi tersebut sangat miris memang. Karena faktanya dari peserta musyawarah tingkat desa saja perempuan mengalami diskriminasi. Selain tidak diberikan ruang untuk hadir, ketika hadir pun suara mereka yang minoritas akan dianggap seperti angin lalu. Program yang diusulkan dianggap tidak bisa langsung terlihat, jika dibandingkan dengan perbaikan infrastruktur desa misalnya. Padahal jika kembali merujuk pada prinsip dari PUG sendiri adalah terkait pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.

Mungkin ketika kita melihat ke kota-kota besar yang mayoritas lingkungannya adalah kalangan akademisi, istilah gender sudah bukan barang baru, dan bahkan pendampingan korban kekerasan dan pelecehan seksual bukan lagi hal tabu yang dianggap memalukan untuk diperbincangkan. Namun ketika saya kembali ke desa saya, perjalanan menuju itu semua terlihat masih sangat jauh. Bahkan mungkin perjalanan baru akan dimulai.

Jika kata gender yang ada pada istilah PUG baru saja didengar oleh sebagian warga desa yang hadir di forum MusrenbangDes. Hal menarik yang dipaparkan dalam Jurnal Perempuan edisi 107 tentang “Perempuan & Pandemi Covid-19” dalam tulisan Gadis Arivia yang menyebutkan bahwa analisis Pengarusutamaan Gender sudah saatnya untuk ditinggalkan. Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa, kritik paling utama yang diutarakan oleh kalangan feminis melihat masih sangat miskinnya perspektif feminisme dalam diskursus PUG.

Namun, jika kembali melihat kondisi beberapa masyarakat di lingkungan kita sendiri yang ternyata masih banyak yang baru mengenal istilah gender. Bagaimana kemudian, PUG tentu masih diperlukan sebagai pijakan awal untuk membangun pondasi pemahaman masyarakat, agar mengerti pentingnya kesetaraan bagi perempuan di ranah publik.

Jika pola pikir mereka sudah tidak lagi bias gender dan mengerti bahwa perempuan juga memiliki ruang yang sama terkait akses, partisipasi, kontrol, dan  manfaat dengan laki-laki, mungkin untuk menerapkan strategi lanjutan untuk membangun masyarakat yang berkeadilan gender dapat dilakukan. Namun lagi-lagi, ini masih tentang perjalanan yang sangat panjang bagi beberapa orang yang berada di tengah-tengah lingkungan yang masih kental dengan sistem dan budaya patriarki seperti saya saat ini. []

Tags: GenderKesetaraanmusrenbangdesperempuanPUGruang publik
Nuril Qomariyah

Nuril Qomariyah

Alumni WWC Mubadalah 2019. Saat ini beraktifitas di bidang Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak di Kabupaten Bondowoso. Menulis untuk kebermanfaatan dan keabadian

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version