Mubaadalahnews.com,- Indonesia darurat kekerasan seksual. Ratusan aktivis perempuan dari berbagai wilayah mengikuti pawai akbar untuk mendorong pemerintah segera mengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Dalam pawai itu, para aktivis perempuan menyuarakan pluit tanda bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap perempuan.
Direktur Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), Bunda Nani Zulminarni menyatakan, kekerasan seksual dengan kondisi yang sangat gawat darurat untuk Indonesia.
Dan sepertinya tidak ada respon yang kuat dari pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU Anti kekerasan seksual yang sudah lama sekali diperjuangkan oleh aktivis dan gerakan perempuan.
“Aksi ini tidak hanya menyuarakan kepada pemerintah tetapi kepada publik untuk membangun kesadaran mereka bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak itu bukan hal yang sepele atau kecil,” kata Bunda Nani kepada Mubaadalahnews di Jakarta, 8 Desember 2018.
Dia menilai, meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan setiap tahunnya. Tentu negara ini termasuk darurat, sehingga Bunda Nani bersama kawan-kawan seperjuangan terus mendorong agar RUU penghapusan kekerasan terhadap perempuan segera disahkan oleh pemerintah.
Ia berharap kenyatan atau fakta yang disampaikan kelompok perempuan tentang tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan.
Hal itu sebagai bentuk pendidikan kritis sekaligus penyadaran kepada masyarakat untuk bergerak bersama untuk mendesak disahkannya RUU anti kekerasan sehingga bisa digunakan untuk mencegah secara masif, menghukum pelaku dan melindungi para korban.
“Yang hadir dari Pekka sekitar 100 orang, ini anggota Pekka beberapa wilayah seputar Jakarta, Pandeglang, Tanggerang, Karawang, Subang, Cianjur, Sukabumi serta sekitar Jakarta,” tandasnya.
erkait hukuman atau sanksi pelaku pelecehan seksual dalam Islam seyoginya kita menilik Madzhab Syafi’i. Menurut Syafi’iyah, lelaki pemerkosa wajib memberikan mahar (mitsil) atas apa yang diperbuatnya. Dan juga ada beberapa turunan hukum lainnya yang dikenakan bagi pelaku.
إذا استكره الرجل المرأة على الزّنا، أقيم عليه الحد، ولايقام عليها، لأنّها مستكرهة، ولها مهر مثلها، ويثبت النسب منه إذا حملت المرأة وعليها العدة.
Apabila seorang laki-laki memaksa perempuan untuk berzina, maka ia dijatuhkan had. Dan ia (perempuan) tidak dijatuhkan had karena ia dipaksa. Perempuan yang jadi korban pun mendapatkan mahar mitsil (yakni mahar yang nominalnya ditentukan oleh besaran mahar keluarga pihak perempuan).
Dan nasabnya ditetapkan kepada laki-laki tersebut jika perempuan itu hamil, dan masa iddah juga berlaku baginya. (Abdur Rahman Al-Jaziri, al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, Juz 5 hal. 87)
(WIN/ASH)