Mubadalah.id – Kitab-kitab Hadis yang sangat otoritatif adalah saksi hidup bagaimana perempuan-perempuan pada masa Nabi Saw memiliki aktivitas yang cukup banyak di luar rumah, yang menafikan narasi larangan melalui konsepsi aurat, seperti di atas secara mutlak.
Pada saat di Mekah, banyak sahabat perempuan yang pergi hijrah ke Etiopia, ikut berbai’at (sumpah setia) kepada Nabi Saw di Bukit Aqabah, ikut hijrah ke Madinah, belajar aktif di Dar al-Arqam.
Bahkan mengislamkan banyak tokoh Quraisy, menolong Nabi Saw saat dizalimi di depan Ka’bah, mengamankan perjalanan hijrah Nabi Saw., dan banyak lagi.
Pada saat di Madinah, catatan Hadis maupun sejarah mendokumentasikan para perempuan yang shalat berjemaah di masjid, dan ikut shalat Jumat.
Kemudian belajar di dalam masjid, ikut ke pasar, bekerja di kebun, dan membersihkan masjid. Lalu merawat orang sakit, menggembala kambing, bahkan ikut berperang.
Dan yang heroik saat Nusaibah bint Kaab al-Anshariyah r.a. melindungi Nabi Muhammad Saw. dari Serangan musuh saat Perang Uhud, di saat semua laki-laki terpukul mundur.
Kenyataan bahwa yang meriwayatkan Hadis Nabi Saw. itu 159 sahabat perempuan adalah bukti bagaimana perempuan aktif keluar rumah pada masa Nabi Muhammad Saw.
Tidak mungkin, pada saat itu, lima belas abad yang lalu, seseorang bisa mendengar atau mengetahui perkataan dan perbuatan Nabi Saw.
Sementara ia hanya di dalam rumah selama hidupnya. Pasti ia keluar, berjumpa, belajar, menyaksikan, dan mengamati kehidupan Nabi Saw.
Semua ayat di atas, teks-teks Hadis, dan fakta-fakta sejarah tidak mungkin kalah oleh satu pemahaman. Yang katanya berdasarkan pada satu teks Hadis.
Pasti ada masalah dalam pemahaman ini, yang mengonsepsikan perempuan sebagai aurat untuk melarang aktivitas publik mereka.
Sehingga perlu pemaknaan yang lebih komprehensif dan integral dengan ayat-ayat, Hadis, dan fakta sejarah tersebut. Salah satu pemaknaannya adalah dengan metode mubadalah. []