Mubadalah.id – Islam sebagai agama yang rahmatal lil alamin hadir sekitar 1400 an tahun yang lalu di Jazirah Arab, tepatnya di Kota Makkah. Pada masa itu, masyarakat Makkah masih jahiliyyah dan banyak melakukan hal-hal negatif yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Salah satu kebiasaan buruk mereka adalah mengubur bayi perempuan hidup-hidup dan menganggap perempuan tidak berguna. Sejak Nabi Muhammad SAW hadir mendakwahkan Islam, sejak saat itu derajat perempuan diangkat, dimerdekakan, dan dimuliakan. Sebagaimana hadist riwayat Imam Bukhari berikut,
عن ابن عباس رضى الله عنهما قال: قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: كنا في الجا هلية لا نعد النساء شيئا فلما جاء الاسلام وذكرهن الله رأينا لهن بذلك علينا حقا
Dari Ibn Abbas ra, berkata: Umar bin Khattab ra berkata: “Dulu kami, pada masa Jahiliyah, tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Kemudian ketika Islam turun dan Allah mengakui mereka, kami memandang bahwa merekapun memiliki hak atas kami.
Walaupun begitu, hingga saat ini meski perempuan memiliki derajat yang tinggi dan dimulaikan oleh agama. Perempuan belum benar-benar merdeka. Faqihuddin Abdul Qodir mengungkapkan bahwa banyak fakta yang menunjukkan praktek-praktek merendahkan martabat kemanusiaan perempuan dengan menggunakan legitimasi interpretasi budaya dan agama.
Selain itu, perempuan masih berada dibalik tirani ungkapan lama masak, macak, manak (Memasak, berdandan, dan melayani suami). Yang membuat sebagian perempuan memilih untuk menikah muda, dengan berdiri di atas ungkapan, Menikah adalah Ibadah.
Memang tidak salah jika kemudian kita memilih menikah untuk ibadah. Namun apakah alasan kita menikah adalah benar benar untuk ibadah? Atau semata-mata menghindari kenyataan dari dunia luar yang masih saja ada menghakimi perempuan yang berpendidikan dan memiliki karier tinggi. Karena tidak dapat kita pungkiri konstruksi masyarakat saat ini, terlebih di daerah tertinggal perempuan berpendidikan dan memiliki pekerjaan tinggi dianggap telah menyalahi kodratnya sebagai perempuan.
Bukankah hadist di atas sudah cukup jelas memaparkan bahwa perempuan juga memiliki hak atas laki-laki. Bahkan di zaman Rasulullah istri-istri beliau tidak kemudian dilarang untuk tampil di depan publik. Seperti Siti Khadijah, Rasulullah tidak melarangnya menjadi seorang pedagang bahkan terkenal sebagai saudagar yang kaya raya, Siti Aisyah yang menjadi Guru Hadist sampai-sampai meriwayatkan 2.210 hadist dan juga istri-istri Rasulullah lainnya yang aktif di ranah publik baik dalam segi pendidikan maupun karier.
Sebagaimana Hadist Riwayat Abu Dawud yang menyatakan bahwa Perempuan itu saudara kandung (mitra sejajar) laki-laki. Hadist ini kembali menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dan sederajat. Namun, menjadi perempuan merdeka dengan bermitra sejajar bagi laki-laki masih terbilang susah.
Ditambah tidak hanya dari lingkungan, bahkan laki-laki pun cenderung meremehkan perempuan dan terkesan membatasi ruang gerak mereka di ranah publik yang menyebabkan mereka memiliki rasa malu jika harus tampil didepan umum ataupun memiliki gelar dan jabatan yang tinggi. Sehingga yang perlu ditekankan disini bagaimana kemudian perempuan dapat merdeka bahkan sejak dalam pemikiran mereka sendiri.
Pemikiran Merdeka Perempuan
Menjadi perempuan memang tidak mudah, karena perempuan cenderung mengedepankan perasaan dalam menanggapi berbagai hal. Tidak seperti laki-laki yang lebih menggunakan logika. Ini yang kemudian menjadi salah satu boomerang bagi perempuan sendiri yang menjadi sebab sulit untuk mengekspresikan dirinya di ranah publik. Karena mudah baper (bawa perasaan). Hal ini pula yang menjadi sebab perempuan tidak bisa memerdekakakn dirinya sendiri.
Kita adalah apa yang kita pikirkan. Ungkapan yang sudah tidak asing lagi, dan bisa menjadi salah satu pemantik semangat untuk bangkit. Jika kita dapat berfikir merdeka sejak dalam pikiran kita sendiri, maka tidak akan susah bagi kita untuk memerdekakan diri di lingkungan. Karena dengan begitu kita sudah menghilangkan sifat tidak percaya diri yang akan timbul ketika lingkungan tidak menerima peranan kita di sana. Ketika kita berhasil memerdekakan diri kita sendiri, secara tidak langsung kita telah mengapresiasi kemampuan yang dimiliki oleh diri kita, sehingga kita tidak akan mudah mengeluh dan senantiasa bersyukur dengan apa yang kita miliki.
Islam sejak awal hadir telah menyuarakan tentang keadilan, termasuk di dalamnya kesetaraan peranan perempuan di ranah publik dengan laki-laki. Maka bukanlah hal yang tabu jika kemudian perempuan nyantri hingga belasan tahun bahkan lebih dari 20 tahun mengabdi di pesantren, ataupun kemudian mereka perempuan yang mengenyam pendidikan formal hingga kuliah tingkat Doktoral memperoleh beasiswa dan menjadi pembicara di seminar-seminar.
Karena mereka-merekalah sebenarnya perempuan yang telah merdeka. Mereka dengan pemikiran mereka sendiri telah menentukan apa yang kemudian terbaik bagi masa depan mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan adalah Madrasatunal ulya sekolah pertama bagi anak-anak mereka kelak. Jadi memiliki ilmu yang tinggi baik dari pesantren maupun kampus adalah hal yang seharusnya tidak dianggap menyalahi kodrat terhadap perempuan. Karena kodrat seorang ibu nantinya dituntut untuk cerdas agar dapat mengantarkan anak-anaknya sukses dunia akhirat
Begitu juga dengan perempuan yang bekerja di ranah publik baik dibidang ekonomi, pendidikan, bahkan politik sekalipun. Tidak ada batasan bagi perempuan untuk mengembangkan kemampuan mereka. Karena perempuan adalah sama dengan laki-laki juga memerlukan pengakuan, penghargaan, perlindungan serta pemenuhan hak-hak hidup sebagai manusia yang bermartabat tidak dipinggirkan, dan juga tidak terjamah penistaan sosial. Dengan seperti ini kita tidak lagi menganggap perempuan lemah dan membiarkan mereka merdeka dalam ruang publik.
Menjadi Perempuan Mulia
Penjelasan di atas tidak kemudian menjadi alasan bagi perempuan untuk sepenuhnya bebas mengeksplore diri di lingkungan. Karena begitu mulianya derajat seorang perempuan dalam agama, maka agama juga menjaga kemuliaan seorang perempuan dengan sangat baik. Sebagai seorang muslimah tidak serta merta kemudian melupakan syariat agama Islam selama proses mencari ilmu dan meniti karier. Ada batasan-batasan yang harus menjadi prinsip kita dalam kehidupan.
Menjadi perempuan berpendidikan, memiliki ilmu yang tinggi, memiliki penghasilan sendiri bahkan sejak sebelum membina keluarga adalah suatu hal yang sangat baik dan memang diperlukan oleh seorang perempuan agar merdeka dan berdikari. Namun, seorang perempuan akan jauh lebih sempurna jika kemudian memuliakan dirinya sendiri dengan memiliki budi pekerti baik serta akhlak yang santun.
Selain itu, perempuan yang baik adalah yang tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan untuk nantinya menikah menjalin kesalingan dengan suaminya dan mendidik anak-anaknya sukses dunia dan akhirat. Aamiin. Wallahu ‘Allam. []
*Tulisan ini sebelumnya telah dibukukan dalam antologi buku yang dibuat komunitas Gubuk Tulis Milenial Mengujar Aksara