Mubadalah.id – Kita mungkin pernah mendengar ungkapan bahwa “anak adalah cerminan orang tuanya”. Ungkapan ini, bagi saya bukan sekadar ucapan, melainkan banyak realitas yang kita lihat di masyarakat, apa yang ada di dalam kepribadian anak, ya hasil dari didikkan orang tuanya.
Artinya, pola asuh yang kita terapkan hari ini akan menentukan masa depan sang anak. Jika anak-anak tumbuh dalam keluarga penuh cinta dan dialog. Maka mereka akan belajar menyelesaikan konflik dengan kepala dingin dan hati lapang.
Namun sebaliknya, jika mereka hidup dalam bentakan atau pukulan, maka prilaku yang mengandung kekerasan akan mereka anggap sebagai sesuatu yang wajar, bahkan normal.
Sayangnya, masih banyak orang tua yang menganggap bahwa kekerasan adalah metode mendidik yang baik. Bahkan dengan memukulan dipandang sebagai bentuk ketegasan, bentakan sebagai peringatan, dan ancaman sebagai cara mendisiplinkan.
Padahal, cara pandang semacam ini justru bisa membentuk anak-anak dengan karakter yang keras, penuh amarah, dan minim empati di masa depannya.
Oleh karena itu, Islam sendiri menolak cara-cara demikian. Seperti ditegaskan oleh Sisters in Islam (SIS) Forum Malaysia, agama menempatkan anak pada posisi yang mulia.
Bahkan, Nabi Muhammad SAW, teladan utama umat Muslim, dikenal sebagai sosok penyayang. Beliau tidak pernah sekalipun memukul anak atau istrinya. Sikap lemah lembut (rifq) yang beliau tunjukkan adalah kunci pendidikan karakter yang seharusnya menjadi inti dari setiap keluarga Muslim.
Mendidik dengan Lemah Lembut
Lemah lembut tentu tidak sama dengan memanjakan. Lemah lembut berarti memberi contoh yang baik, berbicara dengan penuh kasih, dan mendisiplinkan dengan cara yang mendidik, bukan merendahkan.
Dengan begitu, anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka dengar. Jika orang tua memilih menyelesaikan masalah dengan pukulan dan bentakan. Maka jangan salahkan anak akan menirunya.
Sebaliknya, bila mereka menyaksikan masalah diselesaikan dengan dialog dan empati, mereka pun akan tumbuh dengan nilai yang sama.
Lebih jauh, pola asuh yang penuh kelembutan memiliki implikasi besar terhadap keadilan gender. Anak laki-laki akan memahami bahwa maskulinitas tidak identik dengan agresi. Anak perempuan pun akan tumbuh dengan keyakinan bahwa dirinya berharga, layak dihormati, dan tidak boleh diperlakukan dengan kasar.
Dengan demikian, pola asuh berbasis kasih sayang adalah vaksin sosial untuk memutus siklus kekerasan rumah tangga di generasi berikutnya. []