Mubadalah.id – Indonesia hari ini sedang berada dalam persimpangan kritis. Berbagai fenomena viral, mulai dari pengibaran bendera One Piece yang jadi simbol protes, hingga beragam suara kritis tentang kondisi sosial-politik, menyuarakan keresahan yang tak bisa kita abaikan. Namun, di tengah derasnya gelombang kritik dan kekecewaan itu, satu hal yang wajib kita pegang teguh: jangan pernah letih mencintai Indonesia.
Fenomena bendera bajak laut One Piece yang menggantikan Merah Putih di sejumlah perayaan Hari Kemerdekaan memicu perdebatan sengit. Banyak pihak merasa ini penghinaan terhadap simbol negara.
Tapi bila kita mau menengok lebih dalam, itu adalah cermin kegelisahan generasi muda yang merasa suara dan aspirasi mereka tidak didengar. Menurut survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) 2024, lebih dari 60% generasi milenial dan Z merasa nasionalisme mereka berbeda dan butuh cara baru untuk diungkapkan.
Ini bukan sekadar persoalan simbol. Bendera itu adalah bahasa baru, bahasa ekspresi yang lahir dari realitas digital dan budaya pop global yang membentuk cara generasi muda memandang dunia. Luffy dan topi jeraminya bukan hanya ikon kartun, melainkan simbol keberanian melawan ketidakadilan dan penindasan, yang sejalan dengan semangat perjuangan bangsa ini sejak dulu.
Pemerintah, di sisi lain, memang berhak menjaga kehormatan simbol negara. Namun respons yang hanya sebatas pelarangan dan ancaman sanksi cenderung memperlebar jurang komunikasi.
Contoh konkret seperti dialog terbuka yang diinisiasi Kementerian Pemuda dan Olahraga pada Juli 2025 untuk mendengarkan aspirasi anak muda patut diapresiasi sebagai langkah maju. Ini membuktikan bahwa pendekatan inklusif dan dialogis lebih efektif daripada pendekatan represif.
Membincang Cinta Tanah Air
Indonesia bukan tanpa masalah. Ketimpangan ekonomi yang masih tinggi, korupsi yang merajalela, seperti skandal Pertamina yang diperkirakan merugikan negara hingga Rp 968,5 triliun menjadi fakta pahit yang memicu rasa frustrasi dan kekecewaan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, angka kemiskinan masih berkisar 9,7% dari total penduduk. Semua ini tentu memengaruhi cara generasi muda memandang negeri ini dan bagaimana mereka mengekspresikan cintanya.
Namun, jangan salah paham. Cinta tanah air bukan soal idealisasi kosong atau kepatuhan buta. Cinta adalah keberanian untuk mengakui kekurangan, berani mengkritik, dan terus berupaya memperbaiki. Anak muda yang memilih bendera One Piece sebenarnya sedang menyuarakan keinginan agar Indonesia tidak diam dalam stagnasi, tetapi terus bergerak maju dengan cara mereka sendiri.
Sebagaimana yang pernah Soekarno katakan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Kini, sejarah baru sedang ditulis di era digital, dan simbol-simbol baru lahir dari pengalaman serta perspektif berbeda. Sebagai bangsa yang besar, kita harus mampu merangkul berbagai cara beridentitas dan berpartisipasi, termasuk ekspresi yang mungkin tidak konvensional.
Yang perlu kita garisbawahi adalah pentingnya nasionalisme inklusif, nasionalisme yang tidak mengekang, melainkan mengayomi keragaman ekspresi. Ini menuntut peran aktif pemerintah untuk menyediakan ruang partisipasi yang luas dan transparan, serta kebijakan yang adil dan responsif. Terbukti, pendekatan seperti Program Desa Digital yang digalakkan Kementerian Kominfo menunjukkan bagaimana teknologi dapat dijembatani dengan semangat kebangsaan.
Tidak kalah penting, masyarakat luas juga harus membuka diri. Jangan mudah menghakimi atau mencap generasi muda sebagai tidak patriotik hanya karena cara mereka berbeda. Mari kita jadikan perbedaan ini sebagai kekayaan budaya yang menambah warna dalam perjalanan berbangsa.
Lantas Bagaimana Kita Mewujudkan Cinta Tanah Air?
Selain itu, cinta tanah air harus kita wujudkan dalam tindakan nyata. Bekerja keras, menegakkan integritas, dan saling bahu-membahu membangun bangsa adalah wujud cinta yang paling konkret. Jangan sampai kita hanya sibuk mengkritik tanpa ikut terjun menjadi bagian dari solusi.
Indonesia telah melewati banyak ujian, dari penjajahan hingga reformasi. Setiap kali, kekuatan gotong royong dan semangat cinta tanah air yang tulus berhasil mengantarkan bangsa ini ke babak baru. Kini, di era di mana simbol nasional bisa tergantikan dengan bendera bajak laut di media sosial, kita menghadapi tantangan baru: merangkai makna nasionalisme yang segar dan relevan untuk generasi digital.
Kontroversi bendera One Piece adalah panggilan untuk refleksi, bukan sekadar perdebatan tanpa arti. Ia mengingatkan kita agar jangan pernah lelah mencintai Indonesia, meskipun realita seringkali menyakitkan dan jauh dari sempurna. Cinta itulah bahan bakar yang akan membuat kita terus maju dan berjuang demi masa depan bangsa yang lebih baik.
Mari kita isi makna cinta tanah air dengan dialog terbuka, kerja nyata, dan semangat inklusif. Karena cinta sejati tidak hanya terlihat dari simbol yang kita kibarkan, tapi juga dari aksi dan komitmen setiap warga negara untuk menjadikan Indonesia lebih adil, makmur, dan bermartabat. []