Mubadalah.id – Era digital, sosial media menjadi pilihan menyuarakan isu-isu disabilitas. Salah satu strateginya melalui kampanye sosial. Orientasinya sebagai awareness audiens memahami isu sosial, membentuk pandangan, kemudian mendorong khalayak melakukan tindakan nyata.
Sayangnya dari ribuan kampanye digital, beberapa produser konten kurang memperhatikan perasaan narasumber. Masalah disabilitas, misalnya, mereka menggambarkan disabilitas dengan kesedihan dan penderitaan untuk mengundang simpati warga siber.
Gerakan yang digadang-gadang sebagai kampanye inklusivitas justru sarang eksploitasi disabilitas di dunia maya. Narasi iba mengerdilkan peran disabilitas ke objek belas kasihan.
Ini menguatkan persepsi netizen memandang disabilitas makhluk tak berdaya. Dari kacamata outsider, insider menjadi cermin objek bersyukur atas kondisi fisik non-disabilitas yang mereka anggap “sempurna”. Akhirnya muncul pandangan bahwa disabilitas bukan sebagai manusia yang setara dengan hak dan kapasitasnya.
Narasi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kampanye inklusivitas. Kampanye inklusivitas mengedepankan kesetaraan, partisipasi, menjunjung martabat manusia, serta menghormati hak dan kesejahteraan.
Eksploitasi Disabilitas Berkedok Kampanye Inklusivitas
Kampanye inklusivitas bertujuan menggalakkan kesetaraan, memperoleh akses adil, dan menegakkan hak-hak disabilitas. Akan tetapi pada waktu pembuatan konten subjek disabilitas terabaikan dan hanya menonjolkan sisi “objek kasihan”.
Contohnya adalah judul short youtube DAAI TV yang memanfaatkan inspirational porn di videonya. “Remaja Disabilitas Rela Bekerja Serabutan Demi Bantu Orang Tua, Masihkah Kita Mengeluh?”
Lalu komentar salah satu viewer: “Orang seperti ini saja mempunyai semangat yang begitu besar. Seharusnya malu karena fisik kita lebih kuat tetapi gampang menyerah”.
Nah kan, respon itu menyulut pemahaman untuk membandingkan fisik disabilitas dan non disabilitas. Kesannya disabilitas dengan fisik tersebut tidak kuat untuk bekerja. Inilah bentuk dari inspirational porn.
Eksploitasi disabilitas pun terjadi di ranah politik. Ketika musim pemilu, disabilitas hanya sebagai “vote getter”- alat untuk menunjukkan kepedulian kandidat. Foto bersama, janji manis aksesibilitas, serta memberdayakan SDM penyandang disabilitas. Setelah terpilih pun, hak-hak disabilitas masih tetap terabaikan.
Di sisi lain, kampanye sosial (charity) acapkali menggunakan narasi kasihan. Konten kreator menyajikan potret disabilitas sebagai objek penderitaan untuk mengundang donasi, like and share. Warganet tersentuh emosinya lalu turut menyumbang.
Dampak Narasi Kasihan
Salah satu kekuatan dari kampanye adalah narasi. Bahasa dalam narasi yang tersusun kata-kata bisa mempengaruhi bagaimana seseorang memandang suatu hal (persepsi).
Pemilihan kata-kata dengan ketidakbijaksanaan dalam materi kampanye akan merugikan orang lain. Cerita yang sensasional pun akan merusak reputasi subjek liputan.
Seperti kampanye dengan mengedepankan “narasi kasihan” tentunya akan menyebabkan efek negatif terhadap disabilitas sendiri.
Pertama, memperkuat stigma bahwa penyandang disabilitas itu tak berdaya, lemah, dan selalu pantas mendapatkan bantuan. Ujungnya, tumbuh pandangan disabilitas selalu berada di posisi bergantung pada belas kasihan orang lain.
Kedua, menyuburkan diskriminasi yang menyebabkan akses pendidikan dan pekerjaan terbatas. Pihak sekolah, misalnya, menolak disabilitas menuntut ilmu karena kasihan desain ruangan dan fasilitasnya tidak sesuai dengan kondisi disabilitas.
Ketiga, pembuat konten lebih mementingkan charity-based approach daripada rights-based approach. Akibatnya disabilitas tidak turut andil dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut persoalan kehidupan mereka.
Dampaknya disabilitas minim merasakan setara dalam mengakses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan fasilitas umum. Padahal kampanye dengan mengedepankan hak asasi manusia menjadikan disabilitas sebagai subjek berdaulat dan dapat berpartisipasi untuk membuat kebijakan.
Belajar dari Akun @rumahdisabilitas: Menjunjung Kampanye Inklusivitas
Sekarang ini konten-konten disabilitas mulai bertransformasi. Narasi yang dulunya identik dengan memanfaatkan rasa kasihan bergeser ke memperjuangkan hak dasar disabilitas, akses, memberikan pengetahuan, dan berbagi pengalaman disabilitas.
Salah satu contoh postingan instagram @rumahdisabilitas. Sang kreator memproduksi konten tentang ruang ramah bagi difabel dan non difabel.
Satu diantara postingannya mengajak netizen merenung tentang mengapa inklusi penting? Bagaimana contoh lingkungan inklusif? Apa peran kita dalam mempraktikannya?
Materi postingan tersebut membuka kacamata netizen yang masih minim pengetahuan tentang disabilitas. Tidak hanya itu, kampanye tersebut membentuk persepsi publik bahwa disabilitas adalah individu yang kuat, berdaya, dan mempunyai potensi besar- asal ada akses yang memadai dan mendapatkan kesetaraan.
Lebih jauh lagi, akun instagram ini juga lantang bersuara mengenai hak-hak dan kesetaraan disabilitas dalam aspek pendidikan, sosial, pekerjaan, kesehatan, dan fasilitas umum.
Dari sini sSlingers bisa belajar bahwa kampanye inklusivitas tidak sekadar menyuarakan empati, namun menegaskan bahwa kesetaraan adalah hak setiap manusia.
Kampanye untuk Membentuk Persepsi
Arah kampanye ialah membentuk persepsi dan menggerakkan massa. Dengan kampanye digital, jangkauan pesan semakin luas. Disinilah narasi bermain. Cerita dari pesan (konten) menentukan cara pandang netizen. Akan tetapi persepsi tidak selalu positif.
Dalam konteks disabilitas, persepsi keliru melahirkan stereotip yang membuat disabilitas merasakan segregasi. Ega Desy Asgawanti, S.S., M.Pd, Komunikasi dan Bahasa; Ruang Karya: 2024, menuliskan bahwa mengatasi stereotip perlu adanya pendidikan , refleksi diri, dan kesadaran dalam diri seseorang.
Alasannya untuk menciptakan lingkungan inklusi, memperkuat kualitas komunikasi, membangun hubungan lebih baik, serta mendorong kesetaraan dan penghargaan terhadap keberagaman dalam masyarakat.
Oleh karena itu kampanye inklusivitas perlu digaungkan tanpa mengeksploitasi disabilitas. Kalau tidak mulai sekarang, lalu kapan? []