Mubadalah.id – Selarik pesan singkat masuk ke gawaiku. “Mamah, adek mau dibawa ke rumah sakit.” Sore itu saya sedang mengikuti salah satu kegiatan Jaringan KUPI di Bekasi, sesaat ketika membaca pesan tersebut, diam dan terhenyak sejenak. Berpikir, merenung, dan membaca situasi berhitung dengan waktu. Sebab, kegiatan baru saja mulai di hari pertama, dari jadwal tiga hari acara. Banyak hal tentu saja yang harus dipertimbangkan.
Keputusannya tentu saya harus pulang. Apapun alasannya, saya harus bersama anakku dalam kondisi kritis seperti itu. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sepanjang hidup di sisa usia saya akan terus dihantui perasaan bersalah.
Ketika keputusan meninggalkan forum sudah bulat, dan sudah memperoleh izin panitia, akhirnya saya pulang. Dan sepanjang perjalanan saya meluapkan kesedihan, terasa sesak, dan panik bercampur menjadi satu. Di atas kendaraan, saya tak kuasa menahan tangis, semoga waktu berkenan menunggu, karena cinta anak dan ibu tak pernah palsu.
Bersamaan dengan situasi yang gelisah tersebut, saya membayangkan bagaimana perasaan Ibunda Novia Widyasari, yang pemberitaannya sedang ramai di lini masa media sosial. Baru lepas tiga bulan lewat kehilangan suami tercinta, sang belahan jiwa, tak lama kemudian anak semata wayangnya, putri kecilnya menyusul menjemput kematian, dengan beragam iringan kisah yang tragis. Sungguh, diperlukan jiwa yang sangat besar dan kuat untuk sanggup menanggungnya.
Sudah tiga hari empat malam, saya menemani ananda di salah satu rumah sakit di Kota Udang. Ketika kondisinya sudah semakin membaik, saya sempatkan menulis sambil mengingati diri atas anugerah Tuhan yang sudah terberi. Sambil membayangkan dialog imajiner dengan Ibunda Novia. Betapa ia perempuan kuat, yang bersedia menerima kondisi anaknya. Tanpa penolakan, dan penghakiman atas apa yang telah terjadi.
Jika diberi kesempatan untuk bertemu, ingin rasanya menyampaikan satu dua kata, betapa jiwa-jiwa perempuan yang malang, semakin terpuruk dan tak berdaya ketika menghadapi hantaman stigma dari masyarakat. “Ibu, bagaimana kabarmu? Semoga kau kini sudah bisa menerima kepergian Novia yang begitu cepat, dan tanpa sempat ucapkan selamat tinggal. Novia beruntung memiliki ibu seperti dirimu, meski cintamu tak sanggup melewati batas derita yang sudah lama ia rasa.”
Di sudut lain negeri ini, Bencana Alam Erupsi Gunung Semeru juga menyisakan kisah cinta anak dan ibu yang luar biasa. Bagaimana seorang perempuan muda Rumini, yang memilih tinggal sambil memeluk ibunya Salamah, yang sudah renta dan tak bisa berjalan. Keduanya bertahan, hingga abu panas erupsi Semeru membekukan tubuh mereka berdua hingga tertimbun pasir vulkanik setebal kurang lebih dua meter. Kisah tragis Rumini, dan Salamah akan terus diceritakan ulang menjadi kisah abadi cinta seorang anak terhadap ibunya.
Sebagai ibu yang kini telah memiliki dua anak, saya berharap mampu mempunyai jiwa seperti ibu Novia, yang mampu menerima kondisi anaknya, dengan tangan terbuka, dan selalu penuh cinta. Pun ketika telah renta, cinta ibu itu semoga akan bertumbuh dan melekat dalam ingatan anak-anak, sehingga berharap pula cinta yang kelak akan menguatkan langkah kakinya menapaki jalan di masa depan, serta dunia yang terus berubah. Cinta ibu yang akan membesarkan hatinya, ketika seorang anak jatuh dan terluka, cinta ibu akan selalu ada dan menyerta.
Sebagaimana kisah dari Sayyidah Aisyah, yang dilansir dari portal NU Online, dalam kitab Adab al-Mufrad, Imam al-Bukhari memasukkan sebuah riwayat yang menceritakan seorang ibu dan dua anaknya. Berikut riwayatnya:
حدّثنا مسلم ين إبراهيم قال: حدّثنا ابن فُضالة قال: حدّثنا بكر ابن عبد الله المزنّي عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَأَعْطَتْهَا عَائِشَةُ ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ، فَأَعْطَتْ كُلَّ صَبِيٍّ لَهَا تَمْرَةً، وَأَمْسَكَتْ لِنَفْسِهَا تَمْرَةً، فَأَكَلَ الصِّبْيَانُ التَّمْرَتَيْنِ وَنَظَرَا إِلَى أُمِّهِمَا، فَعَمَدَتْ إِلَى التَّمْرَةِ فَشَقَّتْهَا، فَأَعْطَتْ كُلَّ صَبِيٍّ نِصْفَ تَمْرَةٍ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ فَقَالَ: (وَمَا يُعْجِبُكَ مِنْ ذَلِكَ؟ لَقَدْ رَحِمَهَا اللَّهُ بِرَحْمَتِهَا صبييها) ـ
Diceritakan oleh Muslim bin Ibrahim, diceritakan oleh Ibnu Fudlalah, diceritakan oleh Bakr bin Abdullah al-Muzanni, dari Anas bin Malik: Datang seorang perempuan kepada Aisyah radliyallahu ‘anha (meminta-minta), Aisyah memberinya tiga butir kurma (karena hanya itu yang dimilikinya). Perempuan itu memberi masing-masing anaknya satu butir kurma, dan menyimpan sebutir lainnya untuk dirinya sendiri. Setelah kedua anaknya memakan kurma (pemberian Aisyah), keduanya menatap pada ibunya. Sang ibu mengambil kurma (jatahnya) kemudian membelahnya. Ia memberi masing-masing anaknya separuh kurma tersebut.
Tak berselang lama, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang. Aisyah menceritakan peristiwa (yang baru saja disaksikannya). Lalu Rasulullah bersabda: “Apa yang mengejutkanmu dari itu? Sungguh Allah telah merahmati ibu tersebut karena kasih sayangnya kepada anaknya.” (Imam al-Bukhari, Adab al-Mufrad, Kairo: Darul Basyar al-Islamiyyah, 1989, h. 45).
Semoga kita semua, para orang tua, baik ayah maupun ibu menjadi orang-orang yang dirahmati Allah, karena memberikan kasih sayang dan cinta tulus pada anak-anak. []