Mubadalah.id – Kashmir, sebuah wilayah yang terletak di pegunungan Himalaya, telah menjadi pusat konflik yang berkepanjangan antara India dan Pakistan. Yakni sejak pembagian India pada tahun 1947. Konflik ini telah menelan banyak korban jiwa, menghancurkan infrastruktur, dan memporak-porandakan kehidupan sosial masyarakat Kashmir. Namun, di balik pertempuran geopolitik ini, ada satu kelompok yang paling menderita namun sering kali terabaikan dalam narasi besar ini, yaitu perempuan.
Dalam konflik India-Pakistan, perempuan tidak hanya menjadi korban kekerasan fisik, tetapi juga menjadi korban ketidakadilan struktural yang lebih besar. Perempuan Kashmir menjadi pihak yang terpinggirkan dan terlupakan. Padahal mereka adalah kelompok yang paling rentan dan paling terimbas akibat konflik.
Perempuan di Kashmir sering kali terjebak dalam berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari pemerkosaan yang digunakan sebagai senjata perang hingga kekerasan fisik lainnya. Laporan-laporan dari organisasi hak asasi manusia seperti Human Rights Watch dan Amnesty International mencatat bahwa kekerasan berbasis gender telah menjadi bagian dari konflik ini.
Perempuan seringkali mendapat perlakuan sebagai objek politik dan sebagai simbol kehormatan bangsa oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik ini. Dalam narasi nasionalisme, tubuh perempuan mereka jadikan alat untuk memperkuat identitas dan citra negara. Padahal, tubuh perempuan bukanlah objek politik atau simbol yang dapat kita pertaruhkan dalam perang, tetapi merupakan hak asasi yang harus terlindungi dan kita hormati.
Namun, meskipun sering terabaikan, perempuan di Kashmir juga memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan dalam proses perdamaian. Sebagai contoh, banyak perempuan yang aktif dalam organisasi kemanusiaan dan sosial untuk memperjuangkan hak-hak mereka serta hak-hak korban lainnya.
Perempuan dapat Mengambil Peran
Parveena Ahangar, misalnya. Dia mendirikan The Association of Parents of Disappeared Persons untuk memperjuangkan nasib keluarga yang anggotanya hilang secara paksa. Ini menunjukkan bagaimana perempuan dapat mengambil peran sebagai pemimpin dalam perjuangan keadilan.
Aktivisme perempuan seperti Parveena memberikan gambaran bahwa perempuan tidak hanya bisa menjadi korban. Tetapi juga pemimpin yang memperjuangkan hak-hak mereka dalam konteks yang lebih luas, yaitu hak asasi manusia dan perdamaian yang inklusif.
Dalam bukunya Kashmir: A Disputed Legacy, Alastair Lamb menulis bahwa meskipun perempuan di Kashmir sering kali terpinggirkan dalam narasi utama konflik, mereka memiliki potensi besar untuk memainkan peran penting dalam membangun perdamaian.
Lamb mengemukakan bahwa meskipun perempuan sering terlupakan dalam proses negosiasi perdamaian, mereka memiliki pengalaman dan wawasan yang sangat penting mengenai bagaimana konflik mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, melibatkan perempuan dalam proses perdamaian tidak hanya akan memastikan bahwa kebutuhan dan hak-hak mereka diperhatikan. Tetapi juga akan membawa perspektif yang lebih inklusif dan menyeluruh.
Bukti menunjukkan bahwa negara-negara yang melibatkan perempuan dalam proses perdamaian cenderung memiliki tingkat perdamaian yang lebih stabil dan berkelanjutan. Perempuan membawa perspektif yang lebih empatik terhadap penderitaan yang masyarakat luas alami. Dengan demikian, perempuan dapat berperan sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai pihak yang terlibat dalam konflik.
Inklusi Perempuan
Di Kashmir, misalnya, inklusi perempuan dalam proses perdamaian dapat mengurangi kekerasan yang menimpa mereka. Sehingga memungkinkan pembangunan masyarakat yang lebih seimbang dan adil. Oleh karena itu, penting bagi proses perdamaian di Kashmir untuk melibatkan perempuan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan. Tidak hanya sebagai korban yang membutuhkan perlindungan, tetapi juga sebagai agen perubahan yang dapat membawa perspektif yang lebih inklusif dan berbasis keadilan.
Namun, untuk mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan, kita perlu mengubah paradigma yang ada. Di mana sering kali mengabaikan suara perempuan dalam proses perdamaian. Solusi yang ditawarkan adalah untuk menciptakan dialog yang inklusif, di mana suara perempuan menjadi pertimbangan dan kita hargai.
Proses perdamaian harus melibatkan semua pihak, termasuk perempuan, yang selama ini menjadi pihak yang paling terabaikan dalam narasi besar konflik Kashmir. Dengan memberikan perempuan peran yang lebih besar, bukan hanya dalam pemulihan pasca-konflik. Tetapi juga dalam proses politik, kita akan mampu menciptakan perdamaian yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan.
Selain itu, kita juga perlu memastikan bahwa perempuan mendapatkan akses yang setara terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi. Pendidikan perempuan harus menjadi prioritas dalam pembangunan pasca-konflik, karena pendidikan adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Pentingnya Pendidikan
Dengan pendidikan, perempuan Kashmir dapat memperoleh keterampilan dan pengetahuan untuk memperbaiki kondisi mereka dan berkontribusi pada pembangunan sosial dan ekonomi wilayah mereka. Jika perempuan kita berdayakan, mereka dapat menjadi agen perubahan yang efektif. Bukan hanya dalam konflik, tetapi juga dalam pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.
Ke depan, penting juga untuk kita ingat bahwa keadilan bagi perempuan bukan hanya soal pemberian akses atau kesempatan. Tetapi juga soal penghormatan terhadap martabat dan hak-hak dasar mereka. Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa konflik Kashmir tidak hanya soal perbedaan politik atau agama, tetapi juga soal ketidakadilan gender yang harus segera teratasi untuk menciptakan perdamaian yang lebih adil dan setara.
Kashmir adalah sebuah wilayah yang penuh dengan konflik dan penderitaan, tetapi di balik itu, ada perempuan-perempuan yang berjuang untuk hak mereka. Untuk keadilan, dan perdamaian. Keberlanjutan perdamaian tidak hanya terletak pada kesepakatan politik antara negara-negara besar, tetapi juga pada pengakuan terhadap hak-hak perempuan yang sering kali terpinggirkan. []