Mubadalah.id – Sebagai generasi dengan populasi manusia terbanyak, generasi Z sering kali diidentikkan sebagai ‘kaum rebahan’. Dalam rentang usia 20 hingga 30 tahun, rebahan ialah aktvitas yang begitu berharga. Apalagi untuk sekedar melepas lelah setelah melalui hari-hari yang menguras waktu, tenaga, dan pikiran baik karena bekerja, kuliah, dan kegiatan lain.
Diksi ‘kaum rebahan’ mulai terkenal sejak para mahasiswa melakukan aksi demonstrasi pada September 2019 lalu dan masih saja digunakan hingga hari ini. Diksi tersebut ditujukan bagi orang-orang yang lebih memilih untuk berleha-leha, bersantai, dan berbaring di atas kasur ketimbang mengisi waktu dengan hal-hal produktif.
Namun, sangat disayangkan, diksi ‘kaum rebahan’ justru menghadirkan stereotip negatif bagi para generasi Z. “Tidak produktif, malas-malasan, membiarkan kesempatan, tak punya target, maunya serba instan, sama sekali tidak menghasilkan apa-apa.” Setidaknya hal-hal itulah yang saya dapatkan ketika berselancar melalui ‘mbah google’ terkait kaum rebahan.
Stereotip generasi Z sebagai generasi pemalas telah ditemukan sejak tahun 2013, berdasarkan catatan Time Magazine. Selain tak produktif, generasi Z ini juga selalu dinilai enggan bekerja keras, maunya yang instan aja, fanatik teknologi, narsis, ingin bekerja tanpa keringat, ingin pintar namun kuliah saja susah lulus.
Ipsos MORI Social Research Institute telah melakukan riset yang menunjukkan bahwa perbedaan usia setiap generasi mengakibatkan persepsi yang kontras antara satu dengan lainnya. Bobby Duffy, selaku Direktur Impos MORI menjelaskan bahwa generasi muda sering jadi target caci maki dan olokan dari generasi yang lebih tua.
Persepsi kontras yang kemudian memunculkan stereotip tertentu memang tidak dapat dihindari. Faktanya, setiap generasi mempunyai karakteristik, nilai, kebiasaan, budaya, dan pola pikir yang berbeda-beda. Jika mengutip pendapat Manheim (1952), generasi ialah konstruksi sosial, yang terdapat sekelompok orang dengan kesamaan umur serta pengalaman historis di dalamnya. Generasi merupakan sekelompok individu yang terpengaruhi fenomena budaya serta peristiwa-peristiwa sejarah dalam fase kehidupan mereka.
Generasi Z ini tumbuh besar seiring dengan kemajuan teknologi. Hal inilah yang kemudian membuat generasi Z selalu menempatkan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan, generasi Z juga mempunyai cara berpikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lahir serta dibesarkan ketika gejolak politik, ekonomi dan, sosial yang terjadi di Indonesia kala itu. Hal tersebut membuat generasi Z tumbuh menjadi generasi yang kritis, open minded, cinta kebebasan dan berani.
Generasi Z dapat disebut sebagai subkultur berdasarkan usia. Sebagai suatu subkultur, generasi milenial tentu mempunyai identitas kolektif berbeda jika dibandingkan dengan budaya pada umumnya. Identitas kolektif itu dapat berguna dalam upaya menangkal ‘stereotip negatif’ yang selalu dilabelkan kepada generasi Z akibat lahirnya diksi ‘kaum rebahan’.
Banyak riset yang membuktikan bahwa stereotip generasi Z sebagai generasi pemalas adalah pelabelan yang salah kaprah. Berbaring di kasur bagi generasi Z bukan suatu hambatan untuk beraktivitas yang produktif. Dengan kemajuan teknologi dan internet, memungkinkan generasi Z untuk menyelesaikan tanggung jawab kapan pun, dimana pun, serta dalam kondisi apapun, termasuk berbaring pastinya.
Sembari rebahan, para generasi Z bisa ‘menyelam sambil minum air’ atau dalam bahasa kerennya ‘multitasking’. Mereka bisa belajar, berjualan, membuat design, bersosialisasi, dan hal lainnya dalam waktu yang sama. Menurut hasil riset IDN Research Institute (2019), 7 dari 10 anak muda dalam populasi generasi Z memiliki jiwa entrepreneur yang cukup tinggi. Tidak heran jika belakangan ini banyak muncul bisnis online yang memiliki owner anak muda.
Selain itu, beberapa dari generasi Z ini banyak yang beralih dari pekerjaan yang ‘pergi gelap pulang gelap’, dan memilih pekerjaan yang lebih fleksibel (freelance). Hal ini membenarkan hasil penelitian Freelancers Union – Upwork yang menyebutkan bahwa sekitar 47% pekerja generasi Z lebih memilih bekerja freelance.
Mengenai stereotip tentang generasi Z adalah generasi ogah kerja keras, merupakan pelabelan yang salah kaprah. ManpowerGroup melakukan riset yang mengungkapkan bahwa para generasi Z bekerja lebih keras daripada generasi sebelumnya. Sekitar 73% dari generasi Z di dunia bekerja selama 40 jam dalam seminggu, bahkan seperempatnya bekerja selama lebih dari 50 jam dalam seminggu. Selain itu 26% di antaranya memiliki pekerjaan lebih dari satu.
Begitu juga dengan orientasi kerja. Generasi sebelumnya bekerja dengan berorientasi pada gaji, sedangkan generasi Z ini tidak bekerja hanya untuk gaji semata, melainkan untuk menggapai tujuan. Para generasi Z memandang suatu pekerjaan sebagai proses untuk pengembangan diri. Jika dirasa tidak berdampak positif pada pengembangan diri, maka akan memilih untuk berhenti dan mencari pekerjaan lain. Hal itu menimbulkan fenomena ‘turn over’ sering kali terjadi, akan tetapi karena para generasi Z ini sedang mencari pengembangan diri terkait pekerjaannya.
Dari beberapa data di atas, maka pelabelan negatif terhadap generasi Z sebagai ‘kaum rebahan’ benar-benar merupakan stereotip yang salah kaprah. Akan tetapi, munculnya stereotip dari segelintir orang terhadap yang lainnya merupakan hal yang tidak dapat kita hindari. Stereotip ini muncul bisa jadi karena setiap kelompok manusia memiliki perbedaan masing-masing, sehingga memunculkan berbagai pandangan.
Untuk meminimalisasinya, setiap individu harus sama-sama menyadari bahwa setiap kelompok memiliki keunikan tersendiri, sehingga tidak bisa untuk disamakan dengan satu dengan lainnya. hal tersebut juga berlaku dalam konteks lain di luar generasi Z versus generasi lebih tua. Seperti dalam hal kelompok politik, sosial, budaya, agama, dan kehidupan masyarakat yang lainnya. []