Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Qasim Amin tentang kebebasan kaum perempuan, maka bagi ia, kebebasan kaum perempuan adalah masalah pertama yang harus diperjuangkan.
Karena bagaimanapun, kebebasan merupakan kekayaan termahal bagi setiap manusia yang memiliki hak untuk merdeka dan bebas.
Hanya saja, perlu menjadi catatan, bahwa kebebasan yang Qasim Amin tekan bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas. Melainkan kebebasan yang dibatasi dengan kerangka syari’at agama dan etika sosial.
Kondisi kaum perempuan pada waktu itu sama dengan budak, karena budak adalah orang yang terampas kemerdekaan dan hak-haknya.
Jangankan hak untuk memperoleh pendidikan, kebebasan untuk berkehendak saja sudah sedemikian terkekang.
Oleh karena itu, perempuan tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat lebih banyak, baik untuk dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakatnya.
Penting untuk kita ketahui, pembebasan adalah agenda terdepan sebelum pemberdayaan. Jauh-jauh hari Qasim Amin telah membidik teks-teks agama (ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang ulama tafsirkan itu mensubordinasi perempuan) yang menjadi momok perempuan lewat karyanya Tahrirul Marah.
Makna Hijab
Bagi Qasim Amin bijab mempunyai dua makna: Pertama, hijab secara hakiki, berfungsi menutup aurat perempuan hingga wajah dan telapak tangan dan bagi penutup wajah atau niqab (cadar).
Bagi masyarakat Mesir pada waktu itu, hijab dalam makna di atas adalah sebagai syari’at Islam.
Kedua, hijab dalam makna majazi, yaitu penjara kaum perempuan dalam rumahnya sendiri.
Selain memaparkan makna hijab sesuai dengan ideologi masyarakat Mesir di atas, Qasim juga mencoba membuat analisis dan studi kritis tentang hijab ini dari dua sudut pandang, yaitu agama dan sosial.*
*Sumber: tulisan karya M. Nuruzzaman dalam buku Kiai Husein Membela Perempuan.