Mubadalah.id – Saya mulai tulisan ini dengan melansir oleh Komnas Perempuan, terdapat 401.975 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih terus berulang. Fakta tersebut menandakan bahwa negara belum sepenuhnya menyentuh isu perempuan secara menyeluruh.
Salah satu film yang dapat menjadi refleksi kasus KDRT adalah Film Girl in the Basement (2021). Film ini terinspirasi dari kisah nyata dan menggambarkan tragedi mengerikan tentang penganiayaan, kekerasan, dan pengkhianatan dalam keluarga. Pelakunya justru adalah orang terdekat: ayah kandung.
Tragedi di Balik Pintu Terkunci
Film ini mengisahkan Sarah, gadis muda penuh harapan akan kebebasan. Namun ia hidup di bawah kendali ayahnya, Don, sosok otoriter yang mengatur seluruh hidup keluarga.
Ketika Sarah berencana kabur setelah ulang tahunnya, Don membuat keputusan mengerikan. Ia mengurung Sarah di ruang bawah tanah rumah. Sejak saat itu, mimpi Sarah pun hancur.
Bertahun-tahun Sarah hidup di ruang itu. Ia mengalami pelecehan fisik dan seksual dari ayahnya. Bahkan, ia melahirkan beberapa anak hasil hubungan terpaksa tersebut. Sementara itu, keluarganya di lantai atas tidak pernah menyadari apa yang terjadi.
Ibu Sarah hanya diberi tahu bahwa Sarah kabur dari rumah. Sesekali ia mendengar suara aneh dari ruang bawah tanah, tetapi Don selalu berhasil menutupinya dengan kebohongan. Akhirnya, keberadaan Sarah tetap tersembunyi selama belasan tahun.
Ketahanan Sarah Menghadapi Tekanan
Di lain sisi kengerian dan penderitaan dalam film ini, ada beberapa aspek resiliensi yang Sarah tampakkan. Pertama adalah daya tahan emosional dan mental. Sarah menunjukkan ketahanan emosional yang luar biasa, terutama dalam menghadapi trauma yang terus-menerus. Meski berada dalam situasi yang sangat menekan, dia berusaha bertahan secara mental, menemukan cara untuk tetap waras dan bahkan beradaptasi dengan kondisi yang tidak manusiawi.
Kedua adalah perannya sebagai seorang ibu di tengah keterbatasan. Saat dia hamil tua dan akan melahirkan, ia hanya berbekal sebuah buku untuk tahu bagaimana cara melahirkan dengan benar. Saat merawat anak untuk pertama kali, ia pun juga hanya berbekal buku untuk tahu apa saja hal-hal yang harus ia lakukan.
Sarah benar-benar berjuang untuk memberikan perawatan dan kasih sayang kepada anak-anaknya. Ketekunan Sarah dalam mengasuh dan melindungi anak-anaknya menunjukkan ketangguhan seorang ibu yang ingin memberikan kehidupan yang lebih baik bagi generasi berikutnya, meskipun ia sendiri dalam keadaan tidak berdaya.
Selain itu, Sarah juga memiliki ketahanan terhadap tekanan psikologis. Meskipun ia telah terisolasi dari dunia luar dan menghadapi ancaman setiap hari, Sarah mampu menemukan cara untuk tidak menyerah pada rasa putus asa.
Ketahanan mentalnya teruji ketika ia mencoba untuk tidak membiarkan ayahnya mengendalikan seluruh identitas dan martabatnya, meskipun ia tidak memiliki kekuatan fisik untuk melawan.
Untuk bertahan hidup sekalipun, Sarah banyak belajar bagaimana beradaptasi dengan kondisi yang ada, termasuk mencari cara untuk tetap sehat secara fisik dan mental. Kemampuan ini menunjukkan bentuk lain dari resiliensi, di mana dia tidak membiarkan lingkungannya menghancurkan dirinya secara total.
Pentingnya Dukungan dan Kesadaran Masyarakat
Kisah Sarah dalam film ini, juga menjadi pengingat akan pentingnya kesadaran masyarakat terhadap tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga. Sering kali, masyarakat atau tetangga mungkin melihat tanda-tanda kecil dari kekerasan, tetapi tidak mengambil tindakan karena tidak ingin terlibat. Dengan ini, ada beberapa hal yang bisa masyarakat lakukan untuk memperkuat respons ketika berhadapan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Pertama adalah meningkatkan kesadaran dan pendidikan publik. Salah satu caranya adalah melakukan kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang KDRT, termasuk bagaimana mengenali perilaku KDRT seperti isolasi yang berkepanjangan atau perubahan perilaku yang signifikan.
Selanjutnya, kedua bisa dengan meningkatkan akses ke layanan pendukung dan perlindungan bagi korban KDRT. Seperti rumah aman (shelter), konseling, serta layanan kesehatan yang harus mudah diakses.
Ketiga adalah pendidikan dan pelatihan untuk penegak hukum dan tenaga kesehatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kelalaian dalam menangani kasus-kasus KDRT. Penegak hukum dan tenaga kesehatan perlu tahu cara mengenali tanda-tanda KDRT dan bagaimana menanganinya secara empatik serta profesional.
Dalam kasus seperti Girl in the Basement, pelatihan semacam ini dapat membantu mereka menindaklanjuti laporan-laporan atau tanda yang mengindikasikan kemungkinan KDRT secara lebih efektif.
Dan yang terakhir adalah peran komunitas dalam pencegahan KDRT. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya kekerasan.
Dalam film ini, pengabaian lingkungan sekitar menunjukkan bahwa sikap tidak peduli bisa berakibat fatal bagi korban. Masyarakat dapat berperan sebagai pengawas yang peduli dan peka terhadap kebutuhan sesama, serta memiliki keberanian untuk melaporkan kecurigaan terkait kekerasan atau penyimpangan lainnya.
Sebuah Harap Melawan KDRT
Demikian film Girl in the Basement tidak hanya menyentuh sisi gelap kemanusiaan, tetapi juga menjadi refleksi yang kuat tentang kekerasan dalam rumah tangga, trauma psikologis, dan ketidakberdayaan korban. Film ini menyoroti pentingnya sistem dukungan yang kuat untuk korban, serta kesadaran masyarakat akan tanda-tanda kekerasan yang sering tersembunyi di balik dinding rumah.
Melalui kisah Sarah, kita diingatkan akan bahaya kekuasaan yang disalahgunakan dan pentingnya harapan serta ketahanan dalam menghadapi kegelapan. Sehingga penting bagi kita untuk lebih peduli, waspada, dan bertindak ketika melihat ketidakadilan di sekitar kita. []