Mubadalah.id – Dalam kelas diskusi Islam dan Gender yang difasilitasi Zahra Amin di Hall Afandi Mochtar, Selasa, 25 November 2025, dua peserta memaparkan pengalaman dan temuan mereka terkait isu perkawinan anak serta kekerasan seksual di lembaga pendidikan dan pesantren.
Nyai Fadilah Munawarah dari Buntet Pesantren Cirebon menjelaskan bahwa sejak 2016 ia bersama tim mendampingi berbagai program pendidikan untuk perempuan di Cirebon. Ia menyoroti persoalan perkawinan anak yang masih sering terjadi, terutama ketika seorang ibu menikahkan anaknya di usia sangat muda.
Menurutnya, sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa anak perempuan boleh dinikahkan. “Padahal di balik itu, angka kematian ibu dan bayi sangat tinggi, begitu pula angka perceraian,” ujarnya.
Untuk merespons situasi tersebut, ia membentuk majelis taklim kecil sebagai ruang edukasi bagi para ibu. Termasuk mereka yang pernah menikahkan anaknya saat masih di bawah umur.
Dalam majelis tersebut, Nyai Fadilah memberikan edukasi mengenai aturan negara yang melarang perkawinan anak. Ia menekankan bahwa mematuhi aturan negara juga merupakan bagian dari kebaikan dan ajaran agama.
Bahkan, edukasi itu, ia sampaikan secara perlahan dan komunikatif, menjawab kekhawatiran para ibu terkait masa depan anak-anak mereka jika tidak segera dinikahkan.
Ia menyebut sebagian peserta mulai mengubah pandangan mereka setelah mengikuti dialog tersebut.
Kekerasan Seksual di Pesantren
Sementara itu, Founder Umah Ramah, Asih Widyowati, memaparkan hasil riset enam tahun terakhir mengenai kekerasan seksual di pesantren dan lembaga pendidikan tinggi. Hasil riset itu telah ia terbitkan dalam dua buku. Yakni Bahaya Laten Kekerasan Seksual di Pesantren dan Seksualitas dan Kekerasan Seksual.
Asih menjelaskan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam penanganan kekerasan seksual adalah ketabuan isu ini di tengah masyarakat.
Menurutnya, kekerasan seksual sering dianggap isu yang memalukan, terutama ketika terjadi di pesantren yang dipersepsikan sebagai ruang suci.
“Banyak pengelola pesantren mengatakan ‘pesantren saya baik-baik saja’,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa sebagian orang masih menganggap kekerasan seksual hanya sebatas pemerkosaan, padahal bentuknya jauh lebih beragam.
Ia menegaskan pentingnya mentransformasikan pengetahuan menjadi gerakan nyata di akar rumput, termasuk menciptakan ruang aman bagi korban.
Pemulihan korban, menurutnya, tidak cukup hanya melalui pendekatan hukum, tetapi juga pendekatan sosial, psikologis, dan kultural, termasuk menggali kearifan lokal.
Asih juga memperkenalkan program Sekolah Sudhamala, ruang aman bagi anak muda untuk belajar mengenali diri, memulihkan trauma, dan terus bergerak. Program ini bertujuan memperkuat keberdayaan generasi muda serta menciptakan ruang yang lebih aman dari kekerasan. []






































