Mubadalah.id – Beberapa pekan terakhir, media sosial tengah ramai menyuarakan #SaveRajaAmpat. Tagar ini tidak terjadi begitu saja, ini berawal dari ajakan Greenpeace pada publik untuk punya kepedulian pada laut Raja Ampat yang terkenal sebagai surga terakhir.
Dalam beberapa video yang diunggah oleh Greenpeace, laut Raja Ampat saat ini terancam punah karena adanya pertambangan nikel, yang tentu saja jika terus dilakukan dampaknya bukan hanya merusak lingkungan. Tapi juga seluruh ekosistem yang ada di dalamnya. Baik manusia maupun flora dan fauna.
Dalam kondisi yang sempat ramai ini, ternyata ada suara-suara yang juga tidak kalah penting, tapi mesti kita share ke publik. Suara tersebut ialah gerakan perempuan adat dalam menjaga laut Raja Ampat melalui tradisi Sasi.
Di Kampung Kapatcol, Papua Barat, Almina Kacili bersama mama-mama lainnya menghidupkan kembali tradisi Sasi sebagai salah satu cara mempertahankan kelestarian laut.
Tradisi Sasi di Kapatcol
Melansir dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menyebutkan bahwa tradisi Sasi merupakan sistem adat dalam mengelola sumber daya alam pada suatu wilayah tertentu yang disepakati, baik di darat maupun di laut yang masih banyak diterapkan di Indonesia bagian timur.
Selama Sasi berlangsung, siapapun tidak boleh ada yang mengambil sumber daya di wilayah tersebut selama kurun waktu tertentu. Bisa selama tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun seperti kelompok Waifuna. Lama atau tidaknya tergantung kesepakatan antara kelompok pengelola Sasi dengan perangkat kampung.
Di Kapatcol, ketika Sasi dibuka, kelompok Waifuna dan masyarakat kampung boleh memanen biota laut yang diperbolehkan seperti teripang, lobster, dan lola selama 3-7 hari. Setelah itu, wilayah tersebut akan ditutup kembali selama satu tahun ke depan.
Selain itu, kelompok Waifuna juga membuat aturan dalam mengambil biota laut. Jadi, semua orang yang akan ikut memanen harus menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan dan dilakukan dengan cara menyelam dan mengambilnya menggunakan tangan kosong, atau dalam bahasa setempat kegiatan ini disebut Molo.
Masyarakat juga boleh memanen biota laut di perairan dangkal menggunakan tombak kayu yang mereka sebut tradisi Balobe. Tujuannya ialah untuk menjaga ekosistem perairaan di wilayah Kapatcol tetap terjaga secara berkelanjutan.
Kelompok Sasi Perempuan Pertama di Papua
Secara historis, tradisi Sasi biasanya dipimpin oleh laki-laki. Tetapi mulai tahun 2010 Mama Almina Kacili, Mama Betsi dan juga mama-mama yang lainnya berinisiatif mendirikan sebuah kelompok perempuan yang mereka beri nama “Waifuna”, yang dalam bahasa setempat artinya berkah dari Tuhan yang Maha Kuasa.
Kelompok ini menjadi kelompok Sasi perempuan pertama dalam sejarah Papua yang diberikan wilayah Sasi dan hak kelola. Hak tersebut diakui sepenuhnya oleh pemerintah kampung, gereja, dan pemegang adat.
Menurut Mama Almina alam merupakan warisan milik generasi mendatang. Sehingga membutuhkan peran bersama untuk menjaganya. Karena itu, perempuan pun harus berada di garda terdepan dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Melalui tradisi Sasi, mama-mama di Raja Ampat memiliki kesempatan untuk turut berkontribusi dalam pelestarian alam.
Meski memiliki kepedulian pada kelestarian laut, mama-mama Waifuna tetap harus bekerja keras untuk tetap bertahan. Terutama ketika kaum laki-laki masih menganggap kelompok ini sebagai ancaman. Sebab, dalam sejarahnya memang tradisi Sasi, memang laki-laki yang memimpin.
Namun meski begitu, Mama Almina dan mama-mama yang lain, tetap bertahan dan menjaga laut Kapatcol agar tetap terlindungi. Selain itu, kelompok Waifuna juga memastikan patroli di wilayah Sasi agar tidak ada lagi kasus pemboman ikan atau cara penangkapan ikan yang merusak.
Ramah Lingkungan
Sebab, tidak hanya menjaga ekosistem laut, menangkap ikan dengan alat yang ramah lingkungan juga penting agar memitigasi dampak krisis iklim. Di mana ekosistem laut mampu menyerap 25 persen emisi karbon.
Dari perjuangan panjang dan penuh tantangan tersebut, Sasi yang dipimpin oleh kelompok perempuan Waifuna ini telah membuahkan hasil. Saat ini Sasi di Kapatcol telah diakui oleh pemerintah kampung, gereja, dan pemegang adat.
Tidak hanya itu, pemerintah kampung juga memperluas wilayah kelola kelompok Waifuna dari 32 hektare menjadi 213 hektare pada tahun 2019 hingga saat ini.
Itu artinya perjuangan kelompok perempuan Waifuna bukan hanya melindungi laut Kapatcol, Raja Ampat. Tapi juga menumbuhkan kegiatan ekonomi dan sosial. Karena hasil penjualan dari buka Sasi biasanya mereka gunakan untuk mendukung kegiatan keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan tabungan pendidikan bagi masyarakat. []