Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa Ismail yang “halim” adalah kehendak Allah yang dititahkan hadir melalui ayah dan ibunya yang satu visi yakni ikhlas, berserah diri, dan terus melangkah sesuai perintah Allah.
Kesatuan visi inilah, menurut Bu Nyai Badriyah, yang menjadi mereka ringan menjalankan perintah penyembelihan yang maha berat.
Godaan iblis yang masuk melalui perasaan kasih sayang ibu pun tak berhasil menggoyahkan Hajar.
Hajar, kata dia, sudah sevisi dengan Ibrahim dan Ismail yang memilih pasrah kepada Allah, meski sebagai seorang hatinya sangat sedih.
Betapa tidak, satu-satunya anak yang membesarkannya dengan susah payah dan sedang tumbuh menjadi bocah yang budiman dan membuncahkan harapan, hidupnya harus berakhir di tangan ayahnya sendiri.
Namun Allah yang Maha Kasih, Bu Nyai Badriyah menyempaikan, ternyata hanya menguji mereka. Dan ternyata keluarga Ibrahim tetap satu visi, meski saat kritis hingga pada titik yang amat sangat mengagumkan dan bahkan mustahil bagi kebanyakan orang.
Allah, kata Bu Nyai Badriyah, menguji mereka secara dramatis, dengan menggunakan tradisi tidak manusiawi yang berlaku saat itu yang sesungguhnya hendak Allah hapus.
Tradisi mengorbankan manusia demi dewa saat itu sudah berlangsung berabad-abad di berbagai belahan dunia.
Di Mesir kuno, di Babilonia, di India, dan berbagai tempat lain. Tanpa pernah tahu rusuk sekarat sekenario Allah, keluarga Ibrahim rela mengorbankan anaknya semata karena ketaatan-Nya.
Mereka, lanjut Bu Nyai Badriyah, baru menyadari Allah hanya memujinya setelah seekor domba hadir untuk menggantikan Ismail.
Peristiwa itu telah menjadikan keluarga Ibrahim sebagai pembawa misi kemanusiaan untuk menghentikan praktik tidak manusia.
Cukuplah seekor domba atau binatang ternaknya lainnya sembelih sebagai bentuk pengabdian dan rasa syukur kepada Allah bukan manusia acuan sepanjang zaman. (Rul)