• Login
  • Register
Minggu, 1 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M

Budaya mukim orang Nusantara di Makkah, pada prosesnya, menjadikan jumlah koloni Nusantara di tanah suci semakin banyak

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
01/03/2023
in Publik
0
Perempuan Banten

Perempuan Banten

646
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dahulu, sebelum pertengahan abad 20 M, orang Nusantara yang pergi haji punya kebiasaan untuk menetap di Makkah. Ada yang bermukim selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian balik ke Nusantara, dan bahkan ada juga yang memilih tinggal seumur hidup di Makkah. Kala itu, berangkat haji tidak sekadar menjadi perjalanan untuk menunaikan ibadah semata, namun juga memiliki aspek sosial untuk belajar maupun mencari rejeki di tanah suci.

Dalam hal ini, menarik untuk mempertanyakan, bagaimana budaya hidup perempuan Nusantara, khususnya perempuan Banten, di tengah komunitas al-Jawi yang mukim di Makkah?

Orang Nusantara Mukim di Makkah

Budaya mukim orang Nusantara di Makkah, pada prosesnya, menjadikan jumlah koloni Nusantara di tanah suci semakin banyak. Terlebih sejak pertengahan abad ke-19 M, sebagaimana penjelasan Martin Van Bruinessen dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji,” angka itu semakin meningkat pesat. Namun, tidak ada angka pasti mengenai jumlah orang Nusantara di Makkah pada waktu itu.

Snouck Hurgonje sendiri yang banyak menulis mengenai “Jawah mukim”–penggunaan term Jawah untuk masyarakat Nusantara secara umum, bukan hanya untuk orang Jawa–tidak memberi perkiraan tentang jumlah mereka. Namun, jelasnya banyak orang Nusantara yang mukim di Makkah saat itu. Saking banyaknya, sehingga sebagaimana penjelasan Martin Van Bruinessen, sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu menjadi bahasa kedua di Makkah.

Selain itu, sebagaimana penjelasan Amirul Ulum dalam al-Jawi al-Makki: Kiprah Ulama Nusantara di Haramain, dari koloni Nusantara yang banyak mukim di Makkah telah menciptakan Kampung Jawah (al-Jawi). Masyarakat yang terdiri dari orang Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan lain-lain, bahkan juga ada orang Malaysia, Pattani (Thailand), dan Moro (Filipina), semua mereka membentuk komunitas al-Jawi (pemukiman masyarakat Nusantara) di Makkah.

Baca Juga:

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

Being Independent Woman is Not Always About Money, Bro!

Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

Tentu di tengah komunitas al-Jawi itu terdapat orang-orang Banten di dalamnya.

Orang Banten di Makkah

Mufti Ali dalam “Nyi Hj. Arnah Cimanuk (1876-1923): Seorang Ulama Banten di Mekah,” menjelaskan bahwa, antara tahun 1870-1899, jumlah koloni Banten di Makkah meningkat sangat pesat dan mencapai puncaknya. Hal ini agaknya merupakan dampak dari dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, yang sebagaimana penjelasan Marten Van Bruinessen membuat jumlah kapal api dari Jawa dan Singapura ke Jeddah bertambah dengan cepat, sebab akses perjalanan dari Nusantara ke tanah suci menjadi semakin mudah.

Kala itu, pemerintah Hindia-Belanda sebenarnya ingin membatasi orang Nusantara yang berangkat haji. Hal itu karena ketakutan mereka akan pengaruh fanatisme agama yang kian meningkat. Namun, pada akhirnya, pihak Hindia-Belanda mengalah terhadap kepentingan ekonomi maskapai perkapalan mereka. Sehingga, orang Nusantara, dalam hal ini orang Banten, tetap dapat berbondong-bondong pergi dan mukim di Makkah. Hingga pada tahun 1931, sebagaimana penjelasan Mufti Ali, dari perkiraan 3.829 orang Nusantara yang mukim di Makkah, sekitar 469 di antaranya merupakan orang Banten.

Aktivitas orang Banten di Makkah, kala itu, tidak hanya datang untuk menunaikan ibadah haji. Melainkan juga untuk belajar dan mencari rejeki. Kita sudah sangat mengetahui eksistensi orang Banten di Makkah, pada abad 19-20 M, dari beberapa pelajarnya yang sukses menjadi ulama di tanah suci. Misalnya, yang paling terkenal adalah Imam Nawawi al-Bantani. Selain itu, juga ada perempuan ulama, yaitu Nyai Hj. Arnah Cimanuk.

Selain kesuksesan dalam aktivitas keilmuan, orang Banten di Makkah ternyata juga mampu membangun kemandirian ekonomi lewat perdagangan. Dalam hal ini, menarik untuk kita catat, banyak di antara pedagang Banten di Makkah waktu itu yang merupakan perempuan.

Perempuan Banten yang Menjadi Pedagang di Makkah

Pada permulaan abad 20 M, terdapat beberapa orang Banten yang menjadi pedagang di Makkah. Umumnya, mereka menjual pakaian, dan sebagian ada yang berprofesi sebagai pengrajin emas serta pedagang makanan.

Menarik mencermati data yang Mufti Ali ajukan dalam artikelnya. Bahwa berdasarkan laporan pegawai Konsulat Belanda di Jeddah, pada tahun 1914, dari 20 orang Banten yang berdagang pakaian, 12 di antaranya adalah perempuan. Mereka adalah: Nyi Hj. Minah (Tanara), Nyi Hj. Sarafah (Ciwedus), Nyi Hj. Markumah (Tanara), Nafisah (Tanara), Maryam (Tanara), Nyi Hj. Saban (Cikande), Suwedah (Pandeglang), Hasunah (Tanara), Hadijah (Tanara), Masinah (Tanara), Ruqoyah (Serang), dan Johariah (Trumbu).

Jadi di antara orang Banten yang menjadi pedagang pakaian di Makkah kebanyakan adalah perempuan. Mereka berdagang pakaian di rumah–tokoh/butik–milik mereka. Sejauh ini, saya tidak tahu pasti sesukses apa usaha dagang mereka. Namun, hal ini sudah cukup menunjukkan, bahwa di tengah komunitas al-Jawi di Makkah, para perempuan Banten mampu memiliki kemandirian ekonomi.

Hal ini juga memberi sedikit penggambaran akan budaya perempuan Nusantara, khususnya perempuan Banten, di tengah komunitas al-Jawi di Makkah. Perempuan di komunitas al-Jawi memiliki kemandirian. Ada yang berhasil dalam studi serta menjadi ulama, seperti Nyai Hj. Arnah Cimanuk. Dan, ada juga yang sukses membangun kemandirian ekonomi lewat perdagangan, sebagaimana kedua belas perempuan Banten yang menjadi pedagang pakaian di Makkah. []

 

 

Tags: Her Storyperempuan bekerjaPerempuan NusantaraSejarah Perempuan
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Perempuan Penguasa

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

31 Mei 2025
Ruang Aman bagi Anak

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

30 Mei 2025
Kasus Argo

Kasus Argo UGM dan Sampai Kapan Nunggu Viral Dulu Baru Diusut?

30 Mei 2025
Gus Dur

Pentingnya Menanamkan Moderasi Beragama Sejak Dini Ala Gus Dur

30 Mei 2025
Ibadah Haji

Esensi Ibadah Haji: Transformasi Diri Menjadi Pribadi yang Lebih Baik

29 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • IUD

    Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tren Mode Rambut Sukainah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pengalaman Kemanusiaan Perempuan dalam Film Cocote Tonggo

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)
  • Tren Mode Rambut Sukainah
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga
  • Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID