Mubadalah.id – Dahulu, sebelum pertengahan abad 20 M, orang Nusantara yang pergi haji punya kebiasaan untuk menetap di Makkah. Ada yang bermukim selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian balik ke Nusantara, dan bahkan ada juga yang memilih tinggal seumur hidup di Makkah. Kala itu, berangkat haji tidak sekadar menjadi perjalanan untuk menunaikan ibadah semata, namun juga memiliki aspek sosial untuk belajar maupun mencari rejeki di tanah suci.
Dalam hal ini, menarik untuk mempertanyakan, bagaimana budaya hidup perempuan Nusantara, khususnya perempuan Banten, di tengah komunitas al-Jawi yang mukim di Makkah?
Orang Nusantara Mukim di Makkah
Budaya mukim orang Nusantara di Makkah, pada prosesnya, menjadikan jumlah koloni Nusantara di tanah suci semakin banyak. Terlebih sejak pertengahan abad ke-19 M, sebagaimana penjelasan Martin Van Bruinessen dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji,” angka itu semakin meningkat pesat. Namun, tidak ada angka pasti mengenai jumlah orang Nusantara di Makkah pada waktu itu.
Snouck Hurgonje sendiri yang banyak menulis mengenai “Jawah mukim”–penggunaan term Jawah untuk masyarakat Nusantara secara umum, bukan hanya untuk orang Jawa–tidak memberi perkiraan tentang jumlah mereka. Namun, jelasnya banyak orang Nusantara yang mukim di Makkah saat itu. Saking banyaknya, sehingga sebagaimana penjelasan Martin Van Bruinessen, sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu menjadi bahasa kedua di Makkah.
Selain itu, sebagaimana penjelasan Amirul Ulum dalam al-Jawi al-Makki: Kiprah Ulama Nusantara di Haramain, dari koloni Nusantara yang banyak mukim di Makkah telah menciptakan Kampung Jawah (al-Jawi). Masyarakat yang terdiri dari orang Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan lain-lain, bahkan juga ada orang Malaysia, Pattani (Thailand), dan Moro (Filipina), semua mereka membentuk komunitas al-Jawi (pemukiman masyarakat Nusantara) di Makkah.
Tentu di tengah komunitas al-Jawi itu terdapat orang-orang Banten di dalamnya.
Orang Banten di Makkah
Mufti Ali dalam “Nyi Hj. Arnah Cimanuk (1876-1923): Seorang Ulama Banten di Mekah,” menjelaskan bahwa, antara tahun 1870-1899, jumlah koloni Banten di Makkah meningkat sangat pesat dan mencapai puncaknya. Hal ini agaknya merupakan dampak dari dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, yang sebagaimana penjelasan Marten Van Bruinessen membuat jumlah kapal api dari Jawa dan Singapura ke Jeddah bertambah dengan cepat, sebab akses perjalanan dari Nusantara ke tanah suci menjadi semakin mudah.
Kala itu, pemerintah Hindia-Belanda sebenarnya ingin membatasi orang Nusantara yang berangkat haji. Hal itu karena ketakutan mereka akan pengaruh fanatisme agama yang kian meningkat. Namun, pada akhirnya, pihak Hindia-Belanda mengalah terhadap kepentingan ekonomi maskapai perkapalan mereka. Sehingga, orang Nusantara, dalam hal ini orang Banten, tetap dapat berbondong-bondong pergi dan mukim di Makkah. Hingga pada tahun 1931, sebagaimana penjelasan Mufti Ali, dari perkiraan 3.829 orang Nusantara yang mukim di Makkah, sekitar 469 di antaranya merupakan orang Banten.
Aktivitas orang Banten di Makkah, kala itu, tidak hanya datang untuk menunaikan ibadah haji. Melainkan juga untuk belajar dan mencari rejeki. Kita sudah sangat mengetahui eksistensi orang Banten di Makkah, pada abad 19-20 M, dari beberapa pelajarnya yang sukses menjadi ulama di tanah suci. Misalnya, yang paling terkenal adalah Imam Nawawi al-Bantani. Selain itu, juga ada perempuan ulama, yaitu Nyai Hj. Arnah Cimanuk.
Selain kesuksesan dalam aktivitas keilmuan, orang Banten di Makkah ternyata juga mampu membangun kemandirian ekonomi lewat perdagangan. Dalam hal ini, menarik untuk kita catat, banyak di antara pedagang Banten di Makkah waktu itu yang merupakan perempuan.
Perempuan Banten yang Menjadi Pedagang di Makkah
Pada permulaan abad 20 M, terdapat beberapa orang Banten yang menjadi pedagang di Makkah. Umumnya, mereka menjual pakaian, dan sebagian ada yang berprofesi sebagai pengrajin emas serta pedagang makanan.
Menarik mencermati data yang Mufti Ali ajukan dalam artikelnya. Bahwa berdasarkan laporan pegawai Konsulat Belanda di Jeddah, pada tahun 1914, dari 20 orang Banten yang berdagang pakaian, 12 di antaranya adalah perempuan. Mereka adalah: Nyi Hj. Minah (Tanara), Nyi Hj. Sarafah (Ciwedus), Nyi Hj. Markumah (Tanara), Nafisah (Tanara), Maryam (Tanara), Nyi Hj. Saban (Cikande), Suwedah (Pandeglang), Hasunah (Tanara), Hadijah (Tanara), Masinah (Tanara), Ruqoyah (Serang), dan Johariah (Trumbu).
Jadi di antara orang Banten yang menjadi pedagang pakaian di Makkah kebanyakan adalah perempuan. Mereka berdagang pakaian di rumah–tokoh/butik–milik mereka. Sejauh ini, saya tidak tahu pasti sesukses apa usaha dagang mereka. Namun, hal ini sudah cukup menunjukkan, bahwa di tengah komunitas al-Jawi di Makkah, para perempuan Banten mampu memiliki kemandirian ekonomi.
Hal ini juga memberi sedikit penggambaran akan budaya perempuan Nusantara, khususnya perempuan Banten, di tengah komunitas al-Jawi di Makkah. Perempuan di komunitas al-Jawi memiliki kemandirian. Ada yang berhasil dalam studi serta menjadi ulama, seperti Nyai Hj. Arnah Cimanuk. Dan, ada juga yang sukses membangun kemandirian ekonomi lewat perdagangan, sebagaimana kedua belas perempuan Banten yang menjadi pedagang pakaian di Makkah. []