Mubadalah.id – Bertahun yang lalu Ibu Dian Kartika Sari, mantan Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) pernah berkata bahwa kemiskinan itu berwajah perempuan.
Kemarin saat berkesempatan mengunjungi Jakarta, aku mencoba membaca derita wajah perempuan yang tertangkap dari perempuan-perempuan yang aku temui di perjalanan.
Perempuan pertama, saat melintas di stasiun Cikampek ketika kereta yang membawaku hendak menurunkan penumpang. Nampak seorang perempuan paruh baya duduk termenung di atas tumpuan besi pembatas antar rel. Tatapannya melayang jauh, tapi nampak kosong. Wajahnya suram dan menyedihkan.
Sekantung karung nampak tergeletak di depannya. Aku menduga isinya barang rongsokan. Posisinya berada di luar stasiun. Dari balik jendela aku menatapnya iba. Hanya sebatas membatin, semoga apapun persoalan yang dihadapi ibu itu mampu ia atasi dengan baik.
Ironisnya, Cikampek yang masuk Kabupaten Karawang ini menempati posisi tertinggi kedua se Indonesia sebagai daerah dengan Upah Minuman Kabupaten (UMK), yakni sebesar Rp. 5. 257. 834. Jumlah yang sama sekali tak bisa dinikmati perempuan paruh baya itu.
Fenomena Manusia Gerobak
Perempuan kedua aku temui di jalan Pasar Minggu, ketika aku hendak pulang menuju stasiun Pasar Senen. Perempuan muda, yang aku taksir usianya kisaran 30-an itu duduk di samping gerobak. Bisa kita tebak, dia adalah manusia gerobak, yang hidup dan tinggal di atas gerobak.
Melansir dari INews.id manusia gerobak kerap kita temukan di berbagai sudut kota dewasa ini. Manusia gerobak identik dengan gerobak berukuran 2×1 meter sebagai alat bantu dalam mencari nafkah sebagai pemulung.
Fenomena manusia gerobak bukan saja disebabkan kemiskinan, tetapi juga karena masalah sosial dan budaya. Ada dorongan keinginan manusia gerobak untuk bisa bekerja di perkotaan. Manusia gerobak menyadari situasi dan posisi mereka di perkotaan, serta narasi kehidupan yang keras dan lebih individualis.
Sebagai alat kerja, gerobak berfungsi juga menjadi sarana pendukung pekerjaan memulung, tempat menyimpan barang-barang bekas dan alat transportasi. Sebagai rumah, gerobak juga adalah tempat tidur, mengasuh anak dan menyimpan barang-barang serta makanan.
Kerentanan Perempuan
Perempuan pertama maupun kedua yang aku temui seharian kemarin itu semakin menegaskan jika kemiskinan memang berwajah perempuan. Kerentanan yang mereka alami bisa berlapis-lapis. Tak hanya bagaimana harus bertahan hidup, tapi juga melindungi tubuh serta jiwa mereka dari kekerasan.
Sungguh aku tak bisa membayangkan para perempuan yang hidup di jalanan tanpa ruang aman dan perlindungan. Bagaimana cara mereka menjalani pengalaman biologis dengan nyaman, sementara hari-hari mereka jalani tanpa pasti.
Melihat realitas tersebut, aku mendukung adanya petisi menolak kepemimpinan maskulin yang diserukan oleh komunitas Jakarta Feminist. Jelas kita membutuhkan keterwakilan perempuan di komisi VIII DPR RI, untuk bisa mengurai dan menyelesaikan sekian persoalan terkait kehidupan perempuan di negeri ini.
Tolak Kepemimpinan Maskulin
Melalui utas change.org, Naila Zaki menuliskan tentang tiga alasan mengapa kita perlu menolak kepemimpinan maskulin Komisi VIII DPR RI, di antaranya;
Pertama, Pentingnya Representasi Perempuan
Secara keseluruhan, jumlah perempuan di DPR saja sudah sangat minim. Pada periode 2024-2029, anggota legislatif perempuan hanya mencapai 127 orang atau 22,1% dari 580 anggota.
Dengan posisi sebagai minoritas, seharusnya perempuan mendapatkan ruang lebih besar untuk bisa terlibat dalam pengambilan keputusan, terutama untuk isu-isu yang berdampak pada perempuan.
Kepemimpinan yang didominasi oleh laki-laki dalam komisi VIII berpotensi mengabaikan perspektif dan pengalaman perempuan yang sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan terkait perlindungan perempuan dan anak.
Isu-isu yang dihadapi oleh perempuan dan anak sangat kompleks dan sering kali dipengaruhi oleh norma-norma gender.
Misalnya, bagaimana bisa laki-laki menjawab masalah kesehatan seksual dan reproduksi jika tidak mengalami atau terdampak langsung atas isu tersebut? Itu kenapa keterwakilan perempuan dan kepemimpinan yang lebih beragam akan lebih mampu menangkap dan merespons persoalan perempuan.
Kedua, Minimnya Pengetahuan dan Keberpihakan pada Isu Perempuan
Nama-nama yang terpilih menjadi pimpinan Komisi VIII memiliki rekam jejak buruk pada isu perempuan dan isu sosial lainnya. Marwan Dasopang, misalnya, pada periode sebelumnya pernah menarik RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dari Prolegnas Prioritas 2020.
Ia juga mengusulkan agar definisi kekerasan seksual diganti dan ditambah unsur tidak melanggar norma agama dan sosial, sebuah komentar yang bias gender dan tidak peka terhadap fenomena sosial.
Hal ini menunjukkan, minimnya pemahaman anggota legislatif terhadap isu kekerasan seksual. Anggota pimpinan lain yang tidak memiliki perspektif yang baik terhadap isu perempuan adalah Ansory Siregar.
Ansory pernah berkomentar bahwa akses terhadap pengetahuan hak kesehatan seksual dan reproduksi pada PP 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU Kesehatan adalah bentuk kebijakan yang mendorong perzinahan. Miskonsepsi ini yang membuat pendidikan seksual dan reproduksi di Indonesia jauh tertinggal.
Ketiga, Keadilan Gender
Penempatan perempuan dalam posisi kepemimpinan di komisi VIII adalah langkah penting untuk mencapai keadilan gender. Ini menunjukkan komitmen DPR untuk mendengarkan suara perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan di bidang perlindungan perempuan dan anak juga membuka peluang bagi generasi mendatang untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan, menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya Komisi VIII DPR RI dipimpin oleh anggota legislatif yang memiliki perspektif gender dan hak asasi manusia yang mumpuni, punya rekam jejak yang unggul dalam mengatasi isu perempuan. DPR harus memastikan keterwakilan pemimpin perempuan yang proporsional.
Akhiri Pemiskinan terhadap Perempuan
Representasi politik perempuan adalah hal yang penting untuk menjamin terakomodasinya pengalaman dan kebutuhan perempuan dalam kebijakan. Keterwakilan perempuan menjadi penting, karena perempuan adalah kategori sosial yang berbeda dari laki-laki yang memiliki pengalaman dan kebutuhan yang juga berbeda.
Kehadiran anggota legislatif perempuan menjadi penting untuk memastikan kepentingan kelompok perempuan tidak terpinggirkan. Kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh perempuan sendiri, karena mereka yang sesungguhnya lebih mengerti kebutuhan perempuan.
Dengan pelibatan penuh keterwakilan perempuan, harapannya tidak ada lagi kemiskinan yang berwajah perempuan. Termasuk perempuan paruh baya di stasiun Cikampek Karawang Jawa Barat, maupun perempuan manusia gerobak di jalanan sekitar Pasar Minggu Jakarta Selatan. Semoga! []