Mubadalah.id – Sekitar dua tahun yang lalu, tepatnya Maret 2019, dalam rangka perayaan momentum Hari Perempuan Internasional, Presiden Joko Widodo mengundang sejumlah perempuan penggerak dari seluruh Indonesia datang ke istana negara. Saya beruntung, termasuk dari bagian para undangan tersebut. Bagaimana ceritanya?
Mbak Rasminah dan Mbak Endang dari Indramayu, serta Mbak Maryati dari Bengkulu, merupakan 3 orang penyintas perkawinan anak yang menjadi pemohon Judicial Review UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi, yang kemudian berubah menjadi UU Perkawinan No. 16 tahun 2019 tentang batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.
Berkat ke 3 orang perempuan penggerak inilah, para Anggota Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), yang disebut sebagai perempuan arus bawah, saya bisa hadir di Istana Negara bersama dengan teman-teman yang lain dari Jawa Barat. Terimakasih Mbak Rasminah, Mbak Endang dan Mbak Maryati.
Meski pada momentum silaturahmi bersama Presiden Jokowi di masa itu, hanya Mbak Rasminah dan Mbak Maryati yang bisa hadir. Sementara Mbak Endang berhalangan, karena ada sesuatu hal yang tidak bisa ditinggalkan. Rona bahagia terpancar penuh sumringah, dari setiap perempuan penggerak yang berkesempatan menjadi tamu undangan di Istana Negara.
Aura haru namun penuh semangat semakin terasa begitu profil 16 perempuan penggerak arus bawah, yang berjuang dengan potensi dan konsentrasi ruang geraknya masing-masing, mampu memperkuat ikatan atas nama anak bangsa, diputar sebelum Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan.
Saya ikut larut dalam rasa, terharu dan menitikkan air mata. Terlebih saat slide video menampilkan Mbak Rasminah. Saya menangis, begitu juga beberapa perempuan di kanan kiri saya. Perjuangan ini belum berakhir, tetapi akan menapak pada perjuangan berikut, dan takkan membuat langkah kaki ini surut.
Ah, perjuanganku hanya setitik buih di samudera yang luas. Tak ada apa-apanya dibandingkan mereka, para perempuan penggerak di daerah konflik, dengan keterbatasan akses, SDM dan fasilitas. Belum lagi perjuangan menjadi penyintas kekerasan. Tuhan, teguhkan perjuangan para perempuan-perempuan penggerak se-Indonesia raya ini, hingga terwujud kesetaraan dan keadilan yang hakiki bagi kami semua.
Karena suara para perempuan penggerak arus bawah ini, yang mencerminkan wajah Indonesia sebenarnya. Bagaimana sistem sosial yang terbangun di masyarakat, yang bersinggungan dengan budaya, adat, agama dan kebijakan negara menjadi ruang yang ramah bagi perempuan. Tanpa diskriminasi, tanpa kekerasan, tanpa pelabelan, tanpa peminggiran, tanpa dinomerduakan, dan tanpa menyandang beban tugas ganda.
Perempuan yang pada saat Presiden menyampaikan sambutan, menyematkan penghargaan terhadap perempuan sebagai tonggak ekonomi keluarga dan mendidik generasi penerus bangsa, semoga juga diimbangi dengan pelayanan kesehatan, terutama kesehatan reproduksi yang merata, terjangkau dan berkualitas. Serta pemberdayaan ekonomi, dari pelatihan ketrampilan hingga sampai pada produksi, distribusi dan aktualisasi.
Karena meminjam kalimat dari Film Dokumenter tentang perkawinan anak dari Pulau Nias Sumatera Utara, bahwa “Perempuan adalah matahari yang tak pernah tenggelam”. Ya, dalam situasi dan kondisi apapun, bahkan di saat tergelap, dan pengalaman terpahit yang dirasakan, perempuan selalu punya nyali untuk menyalakan lentera. Pun jika nyala itu meredup, akan selalu ada perempuan lain yang akan menerangkan kembali pendar asa itu, hingga semakin benderang jalan ke depan.
Sehingga melalui momentum Hari Perempuan Internasional di tahun ini saya ingin menuliskan kembali, kenangan bersama para perempuan penggerak di Istana Negara Jakarta, sekaligus mengucapkan “Selamat Hari Perempuan Internasional”, untuk seluruh perempuan penggerak di manapun berada. Mari terus bunyikan suaramu, dengan jalan apapun yang memungkinkan untukmu tetap bersuara. []